NII
(Negara Islam Indonesia) adalah salah satu gerakan dengan latar belakang yang
memiliki kaitan dengan paham sekularisme. Mengutip dari situs Wikipedia
Indonesia, dalam istilah politik, sekularisme adalah suatu pergerakan menuju
pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti
mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama
negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan
pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi
dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.
Negara Islam Indonesia
(disingkat NII : dikenal juga dengan nama Darul Islam). Lahir sebagai bentuk
pemberontakan atas ketidakpuasan terhadap Pancasila sebagai dasar Negara
Republik Indonesia yang dicetuskan pada 18 Agustus 1945, dengan sebelumnya
mencoret tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya”. Padahal tujuh kata yang terdapat dalam butir pertama dari lima
lima butir yang kelak menjadi Pancasila telah disetujui oleh pihak islam dan
kaum kebangsaan (nasionalis) dan dirumuskan oleh panitia sembilan yaitu : Ir.
Soekarno, Mohammad Hatta, A. A Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar
Muzakir, H. Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim dan Muhammad Yamin pada
22 Juni 1945. Hasil kompromi tersebut terkenal dengan sebutan Piagam Jakarta.
Perlu diketahui,
pencoretan tujuh kata tersebut dilakukan oleh Mohammad Hatta setelah sehari
sebelumnya bagian timur Indonesia menyatakan tidak akan ikut membela Republik
Indonesia yang baru diproklamasikan dan menyatakan akan memisahkan diri dari
Republik Indonesia jika ketujuh kata itu tidak dicoret. Atas pertimbangan untuk
mencapai Indonesia merdeka yang bersatu serta tidak terbagi-bagi, akhirnya
pencoretan tujuh kata tersebut dilakukan pada pagi harinya sebelum PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mensahkan Undang-Undang Dasar (UUD)
yang telah selesai di susun oleh BPUPKI (Badan Panitia Untuk Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) dengan persetujuan beberapa tokoh islam, seperti Ki
Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimejo, KH. Wahid Hasyim dan Mr. Teuku Hasan.
Sehingga butir “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Polemik yang terjadi,
persetujuan pencoretan tujuh kata yang berlangsung hanya dalam waktu kurang
dalam lima belas menit tersebut tidak mengundang para penandatangan Piagam
Jakarta, seperti H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir
bahkan ketua BPUPKI KH. Masykur pun tidak diundang. Bisa dibayangkan seberapa
besar rasa kecewa yang dirasakan para perumus Piagam Jakarta khususnya umat
islam sendiri sebagai kaum mayoritas di Indonesia . Hanya dalam waktu lima
belas menit isi Piagam Jakarta yang telah dihasilkan dengan susah payah selama
berhari-hari bisa diubah karena penolakan dari pihak minoritas. Tentu saja hal
ini menjadi kegembiraan tersendiri bagi kaum nasionalis-sekuler.
Faktanya setelah
Indonesia merdeka dengan Pancasila sebagai dasar negaranya, justru di bagian
timur Indonesia yang sebelumnya menginginkan pencoretan tujuh kata yang
terdapat dalam Piagam Jakarta banyak sekali melakukan pemberontakan, salah
satunya adalah pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) yang didalangi oleh
sisa-sisa kekuatan kolonialis. Pemberontakannya bersifat separis (ingin
memisahkan diri dari Republik Indonesia). Satu lagi pemberontakan yang harus
dibayar mahal adalah pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia). Tujuan pemberontakannya tentu saja ingin mendirikan Negara Islam
Indonesia (NII), karena dirasa isi Pancasila telah tercampur dengan paham
sekularisme.
Pendiri Negara Islam
Indonesia adalah Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Pusat gerakannya berada di
kawasan Gunung geber Tasikmalaya, Jawa Barat. Proklamasi Negara Islam Indonesia
dicetuskan pada 7 Agustus 1949. Undang-undangnya menyatakan bahwa “Negara
berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al-Quran dan Hadits”
disertai kewajiban Negara untuk memproduk Undang-Undang yang berlandaskan
syariat Islam, dan penolakan keras terhadap ideologi selain Al-Quran dan
Hadits. Penumpasan pemberontakan ini diakhiri dengan penangkapan S. M
Kartosuwiryo pada 4 juni 1962. Akibat pemberontakannya, Kartosuwiryo dijatuhi
hukuman mati.
Lantas bagaimana dengan
Negara Islam Indonesia? Apa ikut padam juga seiring dengan kematian pendirinya?
Tentu saja tidak. NII tetap ada hingga sekarang. Gerakan ini tetap eksis secara
diam-diam meskipun dianggap gerakan yang illegal oleh pemerintah Republik
Indonesia. Ia bersembunyi, tapi tetap mengincar mangsa untuk bisa meneruskan
cita-citanya khususnya terhadap generasi muda dari kalangan mahasiswa.
(AKLmn, 2008)
god ahhh buuu,,, lanjutkan untuk mnjd bloger!
BalasHapushaha... oce deh sip!!! :D
HapusInsya Allah, para mujahidin mampu kembali menciptakan negara yang
BalasHapusbeasaskan syariat islam di bawah naungan khilafah islamiyah. amin
agar umat islam bisa hidup dengan damai
http://transparan.id BAQIOYAH!