Facebook

Rabu, 30 Mei 2012

Pancasila vs Negara Islam Indonesia

NII (Negara Islam Indonesia) adalah salah satu gerakan dengan latar belakang yang memiliki kaitan dengan paham sekularisme. Mengutip dari situs Wikipedia Indonesia, dalam istilah politik, sekularisme adalah suatu pergerakan menuju pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.

Negara Islam Indonesia (disingkat NII : dikenal juga dengan nama Darul Islam). Lahir sebagai bentuk pemberontakan atas ketidakpuasan terhadap Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia yang dicetuskan pada 18 Agustus 1945, dengan sebelumnya mencoret tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Padahal tujuh kata yang terdapat dalam butir pertama dari lima lima butir yang kelak menjadi Pancasila telah disetujui oleh pihak islam dan kaum kebangsaan (nasionalis) dan dirumuskan oleh panitia sembilan yaitu : Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A. A Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim dan Muhammad Yamin pada 22 Juni 1945. Hasil kompromi tersebut terkenal dengan sebutan Piagam Jakarta. 

Perlu diketahui, pencoretan tujuh kata tersebut dilakukan oleh Mohammad Hatta setelah sehari sebelumnya bagian timur Indonesia menyatakan tidak akan ikut membela Republik Indonesia yang baru diproklamasikan dan menyatakan akan memisahkan diri dari Republik Indonesia jika ketujuh kata itu tidak dicoret. Atas pertimbangan untuk mencapai Indonesia merdeka yang bersatu serta tidak terbagi-bagi, akhirnya pencoretan tujuh kata tersebut dilakukan pada pagi harinya sebelum PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mensahkan Undang-Undang Dasar (UUD) yang telah selesai di susun oleh BPUPKI (Badan Panitia Untuk Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan persetujuan beberapa tokoh islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimejo, KH. Wahid Hasyim dan Mr. Teuku Hasan. Sehingga butir “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 

Polemik yang terjadi, persetujuan pencoretan tujuh kata yang berlangsung hanya dalam waktu kurang dalam lima belas menit tersebut tidak mengundang para penandatangan Piagam Jakarta, seperti H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir bahkan ketua BPUPKI KH. Masykur pun tidak diundang. Bisa dibayangkan seberapa besar rasa kecewa yang dirasakan para perumus Piagam Jakarta khususnya umat islam sendiri sebagai kaum mayoritas di Indonesia . Hanya dalam waktu lima belas menit isi Piagam Jakarta yang telah dihasilkan dengan susah payah selama berhari-hari bisa diubah karena penolakan dari pihak minoritas. Tentu saja hal ini menjadi kegembiraan tersendiri bagi kaum nasionalis-sekuler. 

Faktanya setelah Indonesia merdeka dengan Pancasila sebagai dasar negaranya, justru di bagian timur Indonesia yang sebelumnya menginginkan pencoretan tujuh kata yang terdapat dalam Piagam Jakarta banyak sekali melakukan pemberontakan, salah satunya adalah pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) yang didalangi oleh sisa-sisa kekuatan kolonialis. Pemberontakannya bersifat separis (ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia). Satu lagi pemberontakan yang harus dibayar mahal adalah pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Tujuan pemberontakannya tentu saja ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), karena dirasa isi Pancasila telah tercampur dengan paham sekularisme. 

Pendiri Negara Islam Indonesia adalah Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Pusat gerakannya berada di kawasan Gunung geber Tasikmalaya, Jawa Barat. Proklamasi Negara Islam Indonesia dicetuskan pada 7 Agustus 1949. Undang-undangnya menyatakan bahwa “Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al-Quran dan Hadits” disertai kewajiban Negara untuk memproduk Undang-Undang yang berlandaskan syariat Islam, dan penolakan keras terhadap ideologi selain Al-Quran dan Hadits. Penumpasan pemberontakan ini diakhiri dengan penangkapan S. M Kartosuwiryo pada 4 juni 1962. Akibat pemberontakannya, Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati. 

Lantas bagaimana dengan Negara Islam Indonesia? Apa ikut padam juga seiring dengan kematian pendirinya? Tentu saja tidak. NII tetap ada hingga sekarang. Gerakan ini tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap gerakan yang illegal oleh pemerintah Republik Indonesia. Ia bersembunyi, tapi tetap mengincar mangsa untuk bisa meneruskan cita-citanya khususnya terhadap generasi muda dari kalangan mahasiswa.

(AKLmn, 2008)

3 komentar:

  1. god ahhh buuu,,, lanjutkan untuk mnjd bloger!

    BalasHapus
  2. Insya Allah, para mujahidin mampu kembali menciptakan negara yang
    beasaskan syariat islam di bawah naungan khilafah islamiyah. amin
    agar umat islam bisa hidup dengan damai
    http://transparan.id BAQIOYAH!

    BalasHapus

Silakan berkomentar dan meninggalkan jejak :)