Facebook

Selasa, 31 Mei 2016

Pernikahan

Akhir-akhir ini saya sedang merenungi sesuatu, mempertanyakan tentang kesiapan dan kemantapan hati saya untuk melangkah ke tahapan selanjutnya dalam perjalanan hidup alias menikah. Pertanyaan-pertanyaan dilematis ini muncul bukan tanpa sebab. Berawal dari perasaan bersalah yang timbul karena saya merasa “menyakiti” orang-orang baik yang menyatakan keseriusan dan niat baiknya untuk hubungan yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Hingga saya sadari ketegasan saya disalahpahami dan dianggap menyakiti, lalu menimbulkan berbagai opini dan sikap yang kurang mengenakan dari beberapa pihak. Meski sangat disesalkan, tapi tak bisa dihindari urusan hati memang bisa merenggangkan pertemanan bahkan merusak hubungan silaturahmi yang sudah terjalin dengan baik.

Ya, bertahan dengan status single di umur segini memang bukan hal yang mudah. Bukan juga hal yang menyenangkan. Banyak pandangan negatif yang harus kita terima. Telinga pun harus kebal dari perkataan-perkataan yang tidak menyenangkan, harus terbiasa disebut perempuan yang dingin, kejam, de el el el el. Wah … dikira ini hati terbuat dari besi kali ya *geleng-geleng kepala*. Ada yang menasehati, ada yang menggurui, ada yang memarahi, dan level yang paling menyebalkan adalah sok tahu dan mengasihani. Kadang saya tak habis pikir, mengapa orang-orang begitu mudah meng-judge dan menilai seseorang. Tapi apalah daya, saya tidak punya kekuatan dan kekuasaan untuk mengendalikan opini orang-orang yang terlalu peduli pada kehidupan saya.

Rabu, 24 Februari 2016

Tentang Cinta Masa Muda: Berteman Baik Dengan Mantan, Bisakah?



Indahnya cinta di masa muda. Sampai pada usia saya yang matang (masih belum terima kalau dibilang tua) saya baru dua kali merasakan jatuh cinta. Kalau untuk suka-sukaan mungkin lebih banyak lagi. Suka-sukaan yang wajar-wajar aja, misalnya karena orangnya shaleh, pintar, ganteng kayak Lee Min Ho, atau cool kayak Jet Li. Tapi, kalau untuk urusan cinta itu beda lagi. Bisa dibilang saya termasuk orang yang susah untuk jatuh cinta. Dan, parahnya susah move on juga. Saat merasa masih bisa memperbaiki sebuah hubungan meskipun hubungan yang saya jalani telah putus atau berpisah di tengah jalan, maka saya akan terus berusaha mempertahankan dan mencoba memperbaikinya sampai yakin kalau perpisahan itu memang layak terjadi. Layaknya berada di labirin, saya sering hanya berputar-putar di jalan yang sama. Hingga merasa lelah sendiri. Ya, memang sungguh melelahkan. Tapi, bukan berarti pada akhirnya saya tidak bisa move on, hanya proses move on-nya agak terlalu panjang, berliku, banyak drama, dan terlalu lebay.
Di masa muda yang labil, karena baru dua kali jatuh cinta, terkadang saya suka membanding-bandingkan keduanya. Kadang saya merasa si A lebih baik dari si B, di lain hari merasa si B lebih baik dari si A. Kadang saya juga merasa mencintai si A, lalu di lain hari merasa si B-lah yang sebenarnya saya cintai. Parahnya kadang saya pun merasa mencintai keduanya sekaligus (tiba-tiba ada back sound Ahmad Dhani nyanyi,  “Maafkanlah karena aku cinta kau dan dia”). Setidaknya saya tidak pernah berniat selingkuh atau mendua, ini murni lahir dari perasaan kecewa. Tapi, tetap jangan dicontoh ya, karena bisa membuat orang lain sakit hati.
Dua cinta, dua cerita, dan dua mantan. Keduanya sama-sama harus berakhir dengan perpisahan. Meski kejadiannya sudah lama berlalu, tapi tetap saja mereka pernah jadi orang-orang yang spesial dalam hidup saya. Maka, saya pernah mencoba agar bisa menjadi tidak sekadar teman biasa bagi mereka. Tapi, kenyataannya memang tidak semudah yang kita kira.