Ada kalanya seseorang itu berada di titik tersulit
dalam hidupnya. Merasa tak berdaya, kehilangan kepercayaan diri, kehilangan semangat
hidup, serba berat, dan kondisi-kondisi tidak menyenangkan lainnya, seolah-olah dunia sedang begitu kejam,
memalingkan muka enggan bersahabat dan berjabat tangan. Sejujurnya itu yang
sedang saya alami saat ini, tepatnya selama beberapa bulan ini. Bukan, bukan
karena urusan perasaan. Ada masalah lain, masalah keluarga yang begitu pelik,
yang tidak bisa saya detailkan di sini. Membuat saya begitu kecewa, marah,
kesal, segala macam perasaan negatif berbaur. Hingga saya roboh dan terpuruk.
Pada dasarnya saya tipe orang yang tidak mau ambil pusing
saat dihadapkan dengan permasalahan hidup. Saya selalu meyakini bahwa hanya waktu
yang bisa membuat masalah itu berakhir dengan sendirinya. Tapi, tidak untuk kali
ini. Meski selalu berusaha berbesar hati mengatakan pada diri sendiri, “Hei,
masalah kamu itu baru segini aja, belum ada apa-apanya.”. Tapi, lebih sulit
untuk berbohong dengan mengatakan, “Ya, saya baik-baik aja.”
Ya, masalah yang saya hadapi memang tidak sedramatis yang
dialami teman-teman di sekitar saya. Ada teman saya yang harus menerima
kenyataan pahit dari perceraian kedua orangtuanya. Ada yang begitu sakit hati
karena ayahnya berselingkuh dengan wanita lain. Bahkan, yang paling miris ada teman
saya yang diusir oleh ibu tirinya sekaligus keberadaannya tidak diterima baik oleh
ibu kandungnya. Tidak, tidak separah itu. Tapi, saya menyadari kali ini saya terlalu
tenggelam dengan permasalahan yang sedang saya hadapi. Hingga akhirnya saya
sadari kawan-kawan terdekat terasa semakin jauh. Kadang saya pun merasa
dijauhi. Mungkin ini efek karena saya terlalu terbawa perasaan, tapi saat menulis
ini, jujur saya merasa kesepian, merasakan kekosongan. Saya rindu kebersamaan, candaan,
dan rindu teman-teman. Maka, saya hanya bisa memaklumi, berusaha menerima, dan
berintrospeksi diri.
Saya pun harus bersyukur. Ada kalanya seseorang harus
mengalami hal-hal tersulit dulu untuk mengerti arti dewasa yang sesungguhnya. Saya
mungkin memang harus dicambuk dulu untuk menjadi kuat dan menjadi orang yang
lebih sabar. Juga jadi lebih banyak belajar untuk lebih bertanggung jawab dan
mengambil peran dalam keluarga. Tidak egois, tidak merasa sudah banyak
berkorban. Dan, tentunya ini tentang penerimaan, menerima apa pun yang terjadi di
kondisi yang terbaik dan terburuk bersama-sama, dalam satu keluarga. Kini, perlahan-lahan
saya mulai bangkit lagi. Dan, semoga hubungan saya dengan kawan-kawan pun
membaik lagi.
(AKLmn, Agustus 2015)
semoga hubungan dengan temantemannya baikan lagi..
BalasHapus