Facebook

Rabu, 24 Februari 2016

Tentang Cinta Masa Muda: Berteman Baik Dengan Mantan, Bisakah?



Indahnya cinta di masa muda. Sampai pada usia saya yang matang (masih belum terima kalau dibilang tua) saya baru dua kali merasakan jatuh cinta. Kalau untuk suka-sukaan mungkin lebih banyak lagi. Suka-sukaan yang wajar-wajar aja, misalnya karena orangnya shaleh, pintar, ganteng kayak Lee Min Ho, atau cool kayak Jet Li. Tapi, kalau untuk urusan cinta itu beda lagi. Bisa dibilang saya termasuk orang yang susah untuk jatuh cinta. Dan, parahnya susah move on juga. Saat merasa masih bisa memperbaiki sebuah hubungan meskipun hubungan yang saya jalani telah putus atau berpisah di tengah jalan, maka saya akan terus berusaha mempertahankan dan mencoba memperbaikinya sampai yakin kalau perpisahan itu memang layak terjadi. Layaknya berada di labirin, saya sering hanya berputar-putar di jalan yang sama. Hingga merasa lelah sendiri. Ya, memang sungguh melelahkan. Tapi, bukan berarti pada akhirnya saya tidak bisa move on, hanya proses move on-nya agak terlalu panjang, berliku, banyak drama, dan terlalu lebay.
Di masa muda yang labil, karena baru dua kali jatuh cinta, terkadang saya suka membanding-bandingkan keduanya. Kadang saya merasa si A lebih baik dari si B, di lain hari merasa si B lebih baik dari si A. Kadang saya juga merasa mencintai si A, lalu di lain hari merasa si B-lah yang sebenarnya saya cintai. Parahnya kadang saya pun merasa mencintai keduanya sekaligus (tiba-tiba ada back sound Ahmad Dhani nyanyi,  “Maafkanlah karena aku cinta kau dan dia”). Setidaknya saya tidak pernah berniat selingkuh atau mendua, ini murni lahir dari perasaan kecewa. Tapi, tetap jangan dicontoh ya, karena bisa membuat orang lain sakit hati.
Dua cinta, dua cerita, dan dua mantan. Keduanya sama-sama harus berakhir dengan perpisahan. Meski kejadiannya sudah lama berlalu, tapi tetap saja mereka pernah jadi orang-orang yang spesial dalam hidup saya. Maka, saya pernah mencoba agar bisa menjadi tidak sekadar teman biasa bagi mereka. Tapi, kenyataannya memang tidak semudah yang kita kira.


Pada cinta monyet saya, saya mengirimi kado dasi sebagai salam perpisahan sekaligus ucapan selamat karena dia akan menempuh perjalanan baru. Tak lupa saya kirim juga puisi tentang perpisahan (puisinya saya posting juga di blog), karena bagi saya tak hanya status yang harus ditegaskan tapi perpisahan (sebagai dua orang yang penah saling mencintai) pun harus ditegaskan. Harapannya agar bisa menghapus tittle “HTS” dan menghilangkan kecanggungan untuk menjadi teman baik di masa depan (dulu ungkapan perpisahan kita saling menggantung soalnya :D). Tapi, sedikit disesalkan karena apa yang saya lakukan malah menimbulkan kesalahpahaman yang baru, terutama karena tentang kado perpisahan itu dijadikan sebagai konsumsi publik sehingga membuat orang ketiga bisa turut campur dan memperkeruh suasana (salah saya sendiri juga sih keasyikan gara-gara dimention duluan).
Ini juga jadi pelajaran bagi saya, nanti di lain hari jika ingin mengungkapkan sesuatu katakan secara jelas, jangan diwakili dengan puisi, karena puisi itu multitafsir dan tidak semua orang akan sama pemahamannya dengan kita, jadi wajar kalau menimbulkan kesalahpahaman, ckckck... Meski sempat menjelaskan tapi campur tangan orang ketiga membuat harga diri saya sebagai perempuan sedikit terlukai. Memikirkan bagaimana dia menggunakan orang ketiga sebagai penyampai pesan adalah pertanda kehadiran saya tidak diterima dengan baik. Keinginan saya untuk menjadi teman baik pun akhirnya harus saya lupakan. Beberapa hari setelah kejadian itu, dengan banyak pertimbangan akhirnya saya memutuskan menghapus pertemanan di semua medsos. Tanpa bermaksud memutuskan tali silaturahmi, hanya agar bisa tenang menjalani kehidupan masing-masing dan agar tidak ada kesalahpahaman lain di masa depan.
Dengan mantan saya yang satunya, meski berhasil menjalin hubungan pertemanan setelah putus tapi tetap saja banyak drama dan cerita warna-warni yang menyertai hubungan kita. Dekat lagi jauh lagi, pisah lagi dekat lagi, begitu seterusnya. Kadang karena saya sudah merasa begitu nyaman untuk berbagi banyak hal dengan dia, berbagi cerita, berbagi suka dan duka, saya sering merasa tak ada bedanya saat kita pacaran dulu dan setelah kita putus. Jadi, saya merasa (masih) menjadi pacar atau orang terspesialnya. Parah ya. Mungkin dia pun pernah merasakan hal yang sama, entahlah. Tapi, justru itulah yang membuat hubungan kita banyak dibumbui kesalahpahaman dan diwarnai saling sakit hati, marah, juga benci lagi. Mungkin seharusnya ada jeda waktu dan jarak setelah perpisahan untuk melangkah dan berjalan sendiri-sendiri agar ujung-ujungnya tidak baper lagi-baper lagi. Terutama bagi saya yang lebih sering baper dan membuat hubungan tanpa status yang simpel itu jadi rumit dan membuatnya jadi teu pararuguh. Kadang saya yang membuat batasan-batasan, tapi malah saya juga yang kelewat batas (dalam hubungan pertemanan dengan mantan). Hingga kita saling lelah mungkin, dan waktu pada akhirnya membuat jarak kita semakin menjauh. Sekalipun sering keingetan dan masih ada keinginan untuk menjadi teman dekat layaknya para mantan dengan mantannya di luaran sana. Tapi rasanya untuk sekarang seperti ini adalah jalan yang terbaik. Karena memang butuh proses yang tidak mudah dilalui, saya pun sudah mencobanya berkali-kali jadi saya sudah tahu kesulitannya seperti apa. Merasa sakit hati, merasa sudah menyakiti, merasa tersiksa karena harus pura-pura tidak peduli, merasa cemburu yang tidak sepantasnya, merasa harga diri terlukai, dan perasaan-perasaan lainnya. Kalau kita tidak punya kemampuan untuk mengendalikan diri dan perasaan, maka hubungan (pertemanan) yang sudah baik pun bisa menjadi lebih buruk bahkan bisa berakhir dengan permusuhan. Itu yang sekarang saya jaga-jaga agar tidak terjadi. Setidaknya terakhir kali kita dekat, hubungannya masih baik-baik saja. Jadi, saya pikir perpisahannya pun telah berakhir secara baik-baik saja. Tentunya (padanya) saya pernah merasa marah, benci, dan sakit hati. Pernah mencela dan mencaci maki. Pernah pula menjadi orang yang bermuka dua dan buruk hati. Tapi, itu di masa lalu. Sekarang semuanya berganti menjadi doa-doa agar dia menjalani hidup dengan bahagia. Menjadikan saya sebagai pelajaran, tapi bukan untuk dilupakan, hehe... Suatu hari, entah suatu hari kapan mungkin kita bisa menjalin hubungan pertemanan yang baik tanpa ada bumbu dan warna-warni. Dan, berharap dia mengingat kenangan yang baik-baiknya saja, lalu menyimpan apik kenangan-kenangan yang buruk J. Sekali lagi ini menjadi bukti kalau menjalin hubungan yang baik dengan mantan itu tidaklah mudah. Mungkin benar kata seorang teman, silaturahmi yang baik dengan mantan hanya bisa terjalin ketika kita sudah punya pasangan masing-masing alias sudah menikah.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyampaikan pesan pada orang-orang yang terlalu peduli dengan urusan relationship saya, dan tak jarang menjadikan saya sebagai bahan gosip yang begitu renyah, lalu sok tahu dan suka menghubungkan cerita-cerita yang menurut kalian saling berkaitan menjadi sebuah puzzle, saya hanya bisa mengatakan, “Halo... saya bukan selebritis, lho!”. Meski tak jarang sindiran-sindiran kalian begitu melukai hati, saya dikira begini, disangka begitu, dan spekulasi-spekulasi lainnya yang tidak terlalu enak untuk didengar. Tapi, saya pun harus mengucapkan terima kasih karena sindiran-sindiran kalian bisa menjadi warning untuk saya. Seiring waktu saya jadi banyak belajar mengendalikan diri dan perasaan, banyak berintrospeksi diri, dan lebih berhati-hati apalagi menyangkut perasaan orang lain. Saya punya sisi buruk dan punya banyak kekurangan. Tapi, setiap orang termasuk saya berhak mendapat kesempatan untuk menjadi sesorang yang lebih baik. Jadi, tolong stop mencampuri urusan orang lain, karena mencampuri urusan orang lain hanya akan menimbulkan masalah yang baru, dan mencari-cari masalah cukup ketika kalian akan membuat skripsi aja. Mari, sama-sama sibukkan diri untuk mengurusi masalah hidup kita masing-masing yang seabrek.
Dari semua itu setelah kita mengalami berbagai macam problematika hidup yang begitu pelik, maka urusan perasaan, patah hati, dan sakit hati, hanya jadi bagian kecil dari banyaknya masalah hidup yang sudah kita alami dan lalui. Jadi, memang jangan terlalu lebay. Bersikap kalem dan elegan aja, dan jauh lebih keren lagi ketika kita bisa menjadi lebih dekat pada-Nya, serta mulai melakukan segala sesuatu sesuai dengan koridor-Nya. Di masa mendatang, pada akhirnya kita akan menertawakan sekaligus mungkin menyesali kelebayan kita sendiri J J J.


(AKLmn, Februari 2016)

1 komentar:

  1. mantan nggak harus jadi musuhan.
    pengalaman SMA sya juga mantan jadi temain baik.. hhe

    follback ya gan

    BalasHapus

Silakan berkomentar dan meninggalkan jejak :)