Facebook

Selasa, 31 Mei 2016

Pernikahan

Akhir-akhir ini saya sedang merenungi sesuatu, mempertanyakan tentang kesiapan dan kemantapan hati saya untuk melangkah ke tahapan selanjutnya dalam perjalanan hidup alias menikah. Pertanyaan-pertanyaan dilematis ini muncul bukan tanpa sebab. Berawal dari perasaan bersalah yang timbul karena saya merasa “menyakiti” orang-orang baik yang menyatakan keseriusan dan niat baiknya untuk hubungan yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Hingga saya sadari ketegasan saya disalahpahami dan dianggap menyakiti, lalu menimbulkan berbagai opini dan sikap yang kurang mengenakan dari beberapa pihak. Meski sangat disesalkan, tapi tak bisa dihindari urusan hati memang bisa merenggangkan pertemanan bahkan merusak hubungan silaturahmi yang sudah terjalin dengan baik.

Ya, bertahan dengan status single di umur segini memang bukan hal yang mudah. Bukan juga hal yang menyenangkan. Banyak pandangan negatif yang harus kita terima. Telinga pun harus kebal dari perkataan-perkataan yang tidak menyenangkan, harus terbiasa disebut perempuan yang dingin, kejam, de el el el el. Wah … dikira ini hati terbuat dari besi kali ya *geleng-geleng kepala*. Ada yang menasehati, ada yang menggurui, ada yang memarahi, dan level yang paling menyebalkan adalah sok tahu dan mengasihani. Kadang saya tak habis pikir, mengapa orang-orang begitu mudah meng-judge dan menilai seseorang. Tapi apalah daya, saya tidak punya kekuatan dan kekuasaan untuk mengendalikan opini orang-orang yang terlalu peduli pada kehidupan saya.


Tentang pernikahan, jujur saya sendiri bingung mengapa kemantapan itu belum juga datang. Sesekali memang keinginan itu terlintas, apalagi di saat ada laki-laki baik yang datang dan menyatakan niat baiknya. Tapi, jauh di dalam hati, saya masih merasa belum siap. Lagi-lagi merasa belum siap. Tak bisa dipungkiri ada banyak hal yang membuat saya ragu-ragu dan takut untuk melangkah ke arah sana. Salah satunya saat ini yang lebih dan masih mendominasi: keluarga. Ini pikiran sempit saya sebagai perempuan, tapi rasanya perempuan memang punya keterbatasan untuk mengabdikan dirinya pada orangtua dan keluarga. Sedangkan, menikah berarti kita harus berhadapan dengan dua hal: orang baru dan lingkungan baru (keluarga baru). Jadi, ketika menikah seorang perempuan harus mengutamakan pengabdian dirinya pada suami dan keluarga barunya. Bahkan, pada beberapa kasus akhirnya terpaksa harus mengabaikan ayah dan keluarga lamanya.

 Saya sering berdiskusi dengan sahabat-sahabat dekat tentang hal ini. Kadang merasa lucu, entah mengapa kita ditakdirkan mengalami problematika dan ketakutan yang sama. “Apakah kita masih bisa seperti ini setelah menikah?”, “Apakah kita bisa sebahagia ini setelah menikah?”, maksudnya bebas berkumpul bersama keluarga sesuka hati, melakukan banyak hal untuk mereka tanpa ada yang melarang, dan berjuang bersama-sama menghadapi kehidupan yang semakin kejam. Memikirkan bagaimana saya harus membangun kebahagiaan saya sendiri di saat keluarga tengah menghadapi berbagai problematika kehidupan membuat saya merasa sangat egois sebagai seorang sulung. Sekalipun saya sendiri masih belum bisa melakukan sesuatu yang berarti dan memberikan kontribusi dan peranan yang besar untuk mereka, tapi saat ini saya masih belum bisa berhenti untuk sok-sok-an punya tanggung jawab yang lebih kepada mereka.

Saya juga sering dicap terlalu pemilih. Padahal, sekarang saya berada diposisi sebaliknya, merasa kurang kepercayaan diri untuk menjalin relationship (lagi). Bukan trauma, tapi karena ketidaksiapan, ragu-ragu, kekhawatiran, dan rasa takut itu. Merasa akan gagal lagi. Jadi, saya pikir hubungan yang akan dijalani saat ini dengan pikiran dan kekhawatiran saya yang masih seperti ini tidak akan berhasil hingga ke level selanjutnya. Percuma. Dan pemilih? *ketawa*. Mungkin itu hanya berlaku bagi orang-orang yang mendekati sempurna. Saya? Saya cukup tahu diri kok. Ah, da aku mah apa atuh, hanya butiran jas-jus.

Oh, tentu saja saya juga ingin menikah suatu hari nanti. Punya suami dan anak-anak cerdas yang bisa membuat saya tersenyum setiap saat. Saya sering iri loh melihat teman-teman bercengkrama mesra dan tersenyum manis dengan suami dan anak-anaknya. Bagi saya saat ini, itu seperti impian yang tentu saja nanti juga akan indah pada waktunya *optimis*. Apakah saat yang indah itu adalah saat kita merasa bertemu dengan orang yang tepat? Dan, seiring dengan itu kemantapan hati untuk menikah pun akan datang? Saya masih belum tahu jawabannya. Tapi, bagi saya sendiri menemukan seseorang yang bisa berbagi kekhawatiran dan memberikan kenyamanan itu saat ini sangat penting. Karena, kenyamanan itu datang ketika kita merasa sudah menemukan seseorang yang bisa menerima dan mengerti kekurangan kita, bukan kelebihan kita.

Untuk urusan jodoh, pikiran dan perasaan saya sebenarnya sudah sangat simpel, maksudnya tidak seperti beberapa tahun dulu yang keras hati dan keukeh harus berjodoh dengan siapa. Tapi, saya tetap suka perjodohan yang hadir lewat kejutan-kejutan yang indah dari Tuhan, dibandingkan perjodohan yang dirancang manusia. Sekarang, saya ingin (bukan sedang) memantaskan diri dulu untuk jodoh yang masih dirahasiakan oleh Tuhan itu. Tapi, bagaimana pun saya merasa salut pada orang-orang yang telah menyatakan keseriusannya, bahkan tak menyerah meski berkali-kali ditolak. Jika suatu hari masih ada kesempatan lagi, di saat saya benar-benar telah siap, kemungkinan besar saya tidak akan menolak lagi. Kalau tidak ada kesempatan lagi, ya berarti kita memang tidak berjodoh :). Saat pikiran dan kekhawatiran yang macam-macam ini berkurang, mungkin itulah saatnya untuk lebih serius memikirkan tentang pernikahan, hehe...... Tapi, tidak ada yang tahu tentang hari esok. Esok selalu jadi misteri. Tiba-tiba besok saya menyebarkan undangan pernikahan pada kalian kan siapa yang menyangka. Surprise ….. :D.



(AKLmn, Mei 2016)


1 komentar:

Silakan berkomentar dan meninggalkan jejak :)