Akhir-akhir
ini saya sedang merenungi sesuatu, mempertanyakan tentang kesiapan dan
kemantapan hati saya untuk melangkah ke tahapan selanjutnya dalam perjalanan
hidup alias menikah. Pertanyaan-pertanyaan dilematis ini muncul bukan tanpa
sebab. Berawal dari perasaan bersalah yang timbul karena saya merasa
“menyakiti” orang-orang baik yang menyatakan keseriusan dan niat baiknya untuk
hubungan yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Hingga saya sadari ketegasan saya
disalahpahami dan dianggap menyakiti, lalu menimbulkan berbagai opini dan sikap
yang kurang mengenakan dari beberapa pihak. Meski sangat disesalkan, tapi tak
bisa dihindari urusan hati memang bisa merenggangkan pertemanan bahkan merusak
hubungan silaturahmi yang sudah terjalin dengan baik.
Ya,
bertahan dengan status single di umur segini memang bukan hal yang mudah. Bukan
juga hal yang menyenangkan. Banyak pandangan negatif yang harus kita terima.
Telinga pun harus kebal dari perkataan-perkataan yang tidak menyenangkan, harus
terbiasa disebut perempuan yang dingin, kejam, de el el el el. Wah … dikira ini
hati terbuat dari besi kali ya *geleng-geleng kepala*. Ada yang menasehati, ada
yang menggurui, ada yang memarahi, dan level yang paling menyebalkan adalah sok
tahu dan mengasihani. Kadang saya tak habis pikir, mengapa orang-orang begitu
mudah meng-judge dan menilai seseorang. Tapi apalah daya, saya tidak punya
kekuatan dan kekuasaan untuk mengendalikan opini orang-orang yang terlalu
peduli pada kehidupan saya.
Tentang
pernikahan, jujur saya sendiri bingung mengapa kemantapan itu belum juga
datang. Sesekali memang keinginan itu terlintas, apalagi di saat ada laki-laki
baik yang datang dan menyatakan niat baiknya. Tapi, jauh di dalam hati, saya
masih merasa belum siap. Lagi-lagi merasa belum siap. Tak bisa dipungkiri ada
banyak hal yang membuat saya ragu-ragu dan takut untuk melangkah ke arah sana.
Salah satunya saat ini yang lebih dan masih mendominasi: keluarga. Ini pikiran
sempit saya sebagai perempuan, tapi rasanya perempuan memang punya keterbatasan
untuk mengabdikan dirinya pada orangtua dan keluarga. Sedangkan, menikah
berarti kita harus berhadapan dengan dua hal: orang baru dan lingkungan baru
(keluarga baru). Jadi, ketika menikah seorang perempuan harus mengutamakan
pengabdian dirinya pada suami dan keluarga barunya. Bahkan, pada beberapa kasus
akhirnya terpaksa harus mengabaikan ayah dan keluarga lamanya.
Saya sering berdiskusi dengan sahabat-sahabat
dekat tentang hal ini. Kadang merasa lucu, entah mengapa kita ditakdirkan
mengalami problematika dan ketakutan yang sama. “Apakah kita masih bisa seperti
ini setelah menikah?”, “Apakah kita bisa sebahagia ini setelah menikah?”,
maksudnya bebas berkumpul bersama keluarga sesuka hati, melakukan banyak hal
untuk mereka tanpa ada yang melarang, dan berjuang bersama-sama menghadapi
kehidupan yang semakin kejam. Memikirkan bagaimana saya harus membangun
kebahagiaan saya sendiri di saat keluarga tengah menghadapi berbagai
problematika kehidupan membuat saya merasa sangat egois sebagai seorang sulung.
Sekalipun saya sendiri masih belum bisa melakukan sesuatu yang berarti dan
memberikan kontribusi dan peranan yang besar untuk mereka, tapi saat ini saya
masih belum bisa berhenti untuk sok-sok-an punya tanggung jawab yang lebih
kepada mereka.
Saya juga
sering dicap terlalu pemilih. Padahal, sekarang saya berada diposisi
sebaliknya, merasa kurang kepercayaan diri untuk menjalin relationship (lagi).
Bukan trauma, tapi karena ketidaksiapan, ragu-ragu, kekhawatiran, dan rasa
takut itu. Merasa akan gagal lagi. Jadi, saya pikir hubungan yang akan dijalani
saat ini dengan pikiran dan kekhawatiran saya yang masih seperti ini tidak akan
berhasil hingga ke level selanjutnya. Percuma. Dan pemilih? *ketawa*. Mungkin
itu hanya berlaku bagi orang-orang yang mendekati sempurna. Saya? Saya cukup
tahu diri kok. Ah, da aku mah apa atuh, hanya butiran jas-jus.
Oh, tentu
saja saya juga ingin menikah suatu hari nanti. Punya suami dan anak-anak cerdas
yang bisa membuat saya tersenyum setiap saat. Saya sering iri loh melihat
teman-teman bercengkrama mesra dan tersenyum manis dengan suami dan
anak-anaknya. Bagi saya saat ini, itu seperti impian yang tentu saja nanti juga
akan indah pada waktunya *optimis*. Apakah saat yang indah itu adalah saat kita
merasa bertemu dengan orang yang tepat? Dan, seiring dengan itu kemantapan hati
untuk menikah pun akan datang? Saya masih belum tahu jawabannya. Tapi, bagi
saya sendiri menemukan seseorang yang bisa berbagi kekhawatiran dan memberikan
kenyamanan itu saat ini sangat penting. Karena, kenyamanan itu datang ketika
kita merasa sudah menemukan seseorang yang bisa menerima dan mengerti
kekurangan kita, bukan kelebihan kita.
Untuk
urusan jodoh, pikiran dan perasaan saya sebenarnya sudah sangat simpel,
maksudnya tidak seperti beberapa tahun dulu yang keras hati dan keukeh harus
berjodoh dengan siapa. Tapi, saya tetap suka perjodohan yang hadir lewat
kejutan-kejutan yang indah dari Tuhan, dibandingkan perjodohan yang dirancang
manusia. Sekarang, saya ingin (bukan sedang) memantaskan diri dulu untuk jodoh
yang masih dirahasiakan oleh Tuhan itu. Tapi, bagaimana pun saya merasa salut
pada orang-orang yang telah menyatakan keseriusannya, bahkan tak menyerah meski
berkali-kali ditolak. Jika suatu hari masih ada kesempatan lagi, di saat saya
benar-benar telah siap, kemungkinan besar saya tidak akan menolak lagi. Kalau
tidak ada kesempatan lagi, ya berarti kita memang tidak berjodoh :). Saat
pikiran dan kekhawatiran yang macam-macam ini berkurang, mungkin itulah saatnya
untuk lebih serius memikirkan tentang pernikahan, hehe...... Tapi, tidak ada
yang tahu tentang hari esok. Esok selalu jadi misteri. Tiba-tiba besok saya
menyebarkan undangan pernikahan pada kalian kan siapa yang menyangka. Surprise
….. :D.
(AKLmn, Mei
2016)
keren mba, cara berpikirnya..:) Ia Jodoh sudah Allah atur :D
BalasHapus