Facebook

Kamis, 20 Agustus 2015

Curhat: Menjadi Dewasa

Ada kalanya seseorang itu berada di titik tersulit dalam hidupnya. Merasa tak berdaya, kehilangan kepercayaan diri, kehilangan semangat hidup, serba berat, dan kondisi-kondisi tidak menyenangkan lainnya, seolah-olah dunia sedang begitu kejam, memalingkan muka enggan bersahabat dan berjabat tangan. Sejujurnya itu yang sedang saya alami saat ini, tepatnya selama beberapa bulan ini. Bukan, bukan karena urusan perasaan. Ada masalah lain, masalah keluarga yang begitu pelik, yang tidak bisa saya detailkan di sini. Membuat saya begitu kecewa, marah, kesal, segala macam perasaan negatif berbaur. Hingga saya roboh dan terpuruk.

Pada dasarnya saya tipe orang yang tidak mau ambil pusing saat dihadapkan dengan permasalahan hidup. Saya selalu meyakini bahwa hanya waktu yang bisa membuat masalah itu berakhir dengan sendirinya. Tapi, tidak untuk kali ini. Meski selalu berusaha berbesar hati mengatakan pada diri sendiri, “Hei, masalah kamu itu baru segini aja, belum ada apa-apanya.”. Tapi, lebih sulit untuk berbohong dengan mengatakan, “Ya, saya baik-baik aja.”

Ya, masalah yang saya hadapi memang tidak sedramatis yang dialami teman-teman di sekitar saya. Ada teman saya yang harus menerima kenyataan pahit dari perceraian kedua orangtuanya. Ada yang begitu sakit hati karena ayahnya berselingkuh dengan wanita lain. Bahkan, yang paling miris ada teman saya yang diusir oleh ibu tirinya sekaligus keberadaannya tidak diterima baik oleh ibu kandungnya. Tidak, tidak separah itu. Tapi, saya menyadari kali ini saya terlalu tenggelam dengan permasalahan yang sedang saya hadapi. Hingga akhirnya saya sadari kawan-kawan terdekat terasa semakin jauh. Kadang saya pun merasa dijauhi. Mungkin ini efek karena saya terlalu terbawa perasaan, tapi saat menulis ini, jujur saya merasa kesepian, merasakan kekosongan. Saya rindu kebersamaan, candaan, dan rindu teman-teman. Maka, saya hanya bisa memaklumi, berusaha menerima, dan berintrospeksi diri.

Saya pun harus bersyukur. Ada kalanya seseorang harus mengalami hal-hal tersulit dulu untuk mengerti arti dewasa yang sesungguhnya. Saya mungkin memang harus dicambuk dulu untuk menjadi kuat dan menjadi orang yang lebih sabar. Juga jadi lebih banyak belajar untuk lebih bertanggung jawab dan mengambil peran dalam keluarga. Tidak egois, tidak merasa sudah banyak berkorban. Dan, tentunya ini tentang penerimaan, menerima apa pun yang terjadi di kondisi yang terbaik dan terburuk bersama-sama, dalam satu keluarga. Kini, perlahan-lahan saya mulai bangkit lagi. Dan, semoga hubungan saya dengan kawan-kawan pun membaik lagi.


(AKLmn, Agustus 2015)

Minggu, 31 Mei 2015

Lesehan Party

Di umur yang tak lagi muda, pembicaraan tentang pernikahan memang selalu jadi topik yang tidak basi-basi. Apalagi jika obrolan itu dilakukan bersama kawan-kawan senasib seperjuangan. Senasib, karena umurnya sama-sama akan menginjak kepala tiga tapi sama-sama jomblo. Seperjuangan, karena sama-sama sedang berikhtiar maksimal dalam mencari calon suami yang shaleh dan baik untuk kehidupan dunia dan akhirat, hehe…. Ditemani berbagai macam camilan, obrolan saya dan kawan-kawan pun mengalir dan rasanya tidak akan berakhir.
“Heh kalian, masa di antara kita belum ada yang menikah satu pun?” tanya seorang kawan, sebut saja namanya Mawar.
“Pokoknya saya harus nikah dua tahun lagi,” kata kawan lainnya, sebut saja namanya Melati.
“Semangat!” kata saya sambil menyembunyikan kesenduan. Mengingat-ingat jika umur saya sudah lewat dari planning yang sudah ditargetkan.
“Kalau kalian mau konsep pernikahan yang kayak gimana?” tanya Mawar lagi.
Melati cukup singkat menjawab, “Garden party,” katanya.
Berbeda dengan Melati, Mawar lebih heboh, secara detail dan antusias dia menceritakan konsep pernikahan idamannya. Bla … bla … bla ….
“Kamu, Nong?” tanya Melati yang diiringi tatapan menyelidik dari Mawar.
“Saya? Hmmm ….”
***

Selasa, 31 Maret 2015

Kucing Bermental Psikopat

 
Gambar diambil dari www.pixabay.com
Malam ini saya ga bisa tidur. Membayangkan bayi-bayi lucu itu mati secara sadis, rasanya dada ini sakit, menahan sedih sekaligus emosi. Ini bukan tentang bayi-bayi yang diaborsi orangtuanya akibat hamil di luar nikah. Bukan juga tentang bayi-bayi yang dibunuh sadis karena kelahirannya tidak diinginkan. Ini tentang bayi-bayi kucing yang baru beberapa minggu dilahirkan ke dunia. Bayi-bayi lucu anaknya si Lolli yang semuanya mati secara tragis.
Kejadiannya bermula dari beberapa hari yang lalu. Saat itu saya terbangun dari tidur siang gara-gara teriakan si Lolli. Saya sempat diam sesaat karena salah mengira kucing yang menghampiri anak-anaknya si Lolli itu si Putih (kucing betina lain yang ada di rumah). Biasanya si Putih memang suka melihat anak-anaknya si Lolli, lalu pergi begitu saja. Tapi, saya jadi histeris karena kucing putih itu membawa lari anak si Lolli. Spontan saya dan adik-adik saya berlari mengejar kucing putih itu. Tapi, terlambat. Kita hanya mendapati bayi kucing itu telah mati dengan darah yang terus mengalir dari lehernya. Sedih rasanya.
Semua orang rumah kecolongan termasuk saya gara-gara warna bulu kucing jantan itu sama persis dengan si Putih. Mirip banget. Dari depan, saya saja tidak bisa membedakan mana si Putih dan mana kucing jantan putih itu. Tapi, tak beberapa lama adik saya berhasil menangkap si kucing pembunuh itu. Meski kesalnya setengah mati, saya cuma sanggup memukul pelan kucing jantan itu dengan sapu lidi. Adik saya juga menyiramnya dengan air sedikit, karena sama-sama ga tega juga. Lalu, kami membiarkan kucing jantan itu pergi. Sesuatu yang akan kami sesali pada akhirnya.