Di umur yang tak lagi muda, pembicaraan tentang pernikahan memang selalu
jadi topik yang tidak basi-basi. Apalagi jika obrolan itu dilakukan bersama
kawan-kawan senasib seperjuangan. Senasib, karena umurnya sama-sama akan
menginjak kepala tiga tapi sama-sama jomblo. Seperjuangan, karena sama-sama
sedang berikhtiar maksimal dalam mencari calon suami yang shaleh dan baik untuk
kehidupan dunia dan akhirat, hehe…. Ditemani berbagai macam camilan, obrolan
saya dan kawan-kawan pun mengalir dan rasanya tidak akan berakhir.
“Heh kalian, masa di antara kita belum ada yang menikah satu pun?” tanya
seorang kawan, sebut saja namanya Mawar.
“Pokoknya saya harus nikah dua tahun lagi,” kata kawan lainnya, sebut
saja namanya Melati.
“Semangat!” kata saya sambil menyembunyikan kesenduan. Mengingat-ingat
jika umur saya sudah lewat dari planning yang sudah ditargetkan.
“Kalau kalian mau konsep pernikahan yang kayak gimana?” tanya Mawar
lagi.
Melati cukup singkat menjawab, “Garden party,” katanya.
Berbeda dengan Melati, Mawar lebih heboh, secara detail dan antusias dia
menceritakan konsep pernikahan idamannya. Bla … bla … bla ….
“Kamu, Nong?” tanya Melati yang diiringi tatapan menyelidik dari Mawar.
“Saya? Hmmm ….”
***
Hehe… maaf intermezzo-nya kepanjangan. Itu obrolan bersama kawan-kawan
saya hampir setahun yang lalu. Dan, sekarang Mawar sudah tidak jomblo lagi, loh
J. Dari obrolan itulah saya mulai kepikiran, lalu menyusun
konsep pernikahan saya sendiri secara realistis. Maksudnya, yang sesuai dengan
keadaan dan tentunya budget yang saya punya. Bahkan, sebenarnya kalaupun
hanya sekadar ijab-kabul saja bagi saya tidak masalah. Yang penting mah
sudah sah dan halal. Tapi, berhubung ada lomba GA dengan tema “Konsep
Pernikahan Impian” ini saya jadi ingin menceritakan konsep pernikahan impian
saya yang sesungguhnya. Meskipun, konsep pernikahannya susah untuk diwujudkan.
Tapi, ya namanya juga konsep pernikahan impian. Betul… betul… betul….
Momen pernikahan sering sekali dijadikan ajang reunian atau silaturahmi antar
saudara-saudara jauh, yang ketemunya cuma di saat-saat lebaran saja. Rasanya
sayang jika teman-teman atau saudara yang jauh itu hanya datang sebentar.
Bersalaman, makan, lalu pulang. Bahkan, hanya bersalaman lalu pulang. Itu yang
biasanya terjadi di acara-acara pernikahan pada umumnya.
Pernah makan di rumah makan lesehan kan? Sambil makan, suasana yang
akrab dan hangat pun bisa mengalir. Bahkan, kita jadi betah untuk berlama-lama.
Konsep pernikahan yang penuh keakraban dan kehangatan inilah yang selalu saya
impikan. Mengadaptasi rumah makan lesehan dan suasananya, maka untuk konsep
pernikahan impian ini saya namakan ‘Lesehan Party’ J. Sebenarnya konsepnya hampir mirip dengan garden
party atau picnic party. Hanya saja diadakan di dalam gedung. Gedungnya
pun tentu saja harus yang luas dan besar untuk menampung keseluruhan tamu
undangan. Agar tamu undangan bisa duduk sepuasnya tanpa harus menunggu giliran
duduk.
Untuk dekorasi pernikahannya seperti garden party. Ada
tumbuh-tumbuhan, bunga-bungaan warna-warni, daun-daunan, dan pohon-pohonan. Terus
di lantainya tidak digelar karpet biasa, tapi rumput sintetis yang hijau
memenuhi gedung. Itu loh yang sama kayak di alun-alun Bandung. Hmmm… ada-ada aja ya, hehe.... Lalu, di atas
rumput sintetis itu ditaruh meja-meja panjang yang sudah dihias sedemikian rupa.
Di tengah-tengahnya terdapat altar pelaminan dan pemain musik. Sambil menyantap
hidangan dan mengobrol, belum lengkap rasanya jika tidak diiringi alunan
instrumen-instrumen yang dimainkan secara live. Nanti saya dan calon
mempelai laki-laki (Kira-kira siapa ya? Hehe.…) juga akan sering berbaur dan
bercengkrama dengan para tamu yang datang. Jadi, kami tidak hanya sekadar duduk
diam di altar pelaminan saja.
Para tamu undangan tetap mengambil hidangannya sendiri-sendiri yang
terletak di pinggir-pinggir gedung mengitari meja-meja. Hidangannya beraneka
ragam masakan Sunda. Ada jengkol, petai, sambal, dan lalapannya juga, loh. Sunda
bangetlah pokoknya, secara saya asli orang Sunda, tanpa campuran malah, hehe…. Tidak
lupa disediakan jajanan khas Sunda juga seperti batagor, comro, bajigur,
bandrek, dan sebagainya.
Untuk gaun pengantin saya lebih memilih gaun pengantin muslim biasa dengan
warna hijau, disesuaikan dengan konsep dekorasinya yang mirip garden party. Pakaian
untuk keluarga termasuk pagar ayu dan pagar bagus pun sama, hanya warnanya saja
yang dibedakan, misalnya warnanya cokelat dan putih.
Oh iya, untuk kartu undangannya cukup satu lembar kertas chipboard yang
dilapisi kertas aquarelle atau concorde. Didesain sedemikian rupa layaknya sehelai
daun besar kering berwarna cokelat. Kalau souvenir pernikahannya, sepasang
bakiak biasa berbentuk persegi panjang, berukuran medium agar bakiaknya tidak
bisa dipakai sehari-hari. Mau alay dikit ah, nanti di sepasang bakiaknya ada
gambar daun yang setengah-setengah seperti gambar pada baju couple. Gambar dan
warna daunnya sama kayak undangan. Nama saya ditulis di sebelah kanan dan calon
suami yang masih misterius di sebelah kiri bakiak. Lalu, bakiaknya dimasukkan
ke dalam paper bag bermotifkan daun-daun. Serba daun ya, karena saya
suka sekali dengan filosofi daun. Ini salah satu filosofi daun yang diambil
dari kutipan novel “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin” karya Tere Liye,
salah satu penulis favorit saya. Filosofi daun dari novel ini bisa
diaplikasikan dalam kehidupan rumah tangga kita kelak: penerimaan, pengertian,
dan pemahaman.
“Daun yang jatuh
tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan,
mengikhlaskan semuanya. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa
hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami,
pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman
itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.”
Begitulah konsep pernikahan impian saya. Maaf ya kalau banyak curcolnya,
hehe…. Pokoknya di ‘Lesehan Party’ tidak disediakan kursi sama sekali, untuk
penerima tamu yang ada di dalam gedung dekat pintu masuk (biasanya di luar
gedung) pun lesehan, hanya disediakan meja saja. Bahkan, untuk pasangan
pengantin dan orang tua dari kedua belah pihak pun sama-sama lesehan. Dan, tentunya
agar para tamu undangan tidak khawatir sepatu-sepatu kesayangannya hilang, maka
disediakan juga tempat penitipan sepatu. Tenang, ada nomor penitipannya juga
kok J. Jadi, kapan saya akan menikah ya? #Eh. Hahaha….
Semoga segera menikah ya, mbak. Aku pernah datang ke undangan dengan konsep perasmanan, tapi tamunya duduk denan lesehan gitu. Asik, jadi lebih akrab sama yang lain dan pada tertib jadinya. Solanya ga ada yang mondar mandir jalan-jalan sambil makan.
BalasHapusAamiin... asyik jd lebih banyak yg ngedoain nih, hehe.... Kalau saya belum pernah lihat acara pernikahan yang lesehan mbak. Palingan yg berkursi dan tanpa kursi aja :D. Kayaknya jarang banget yg pake konsep lesehan gitu. Ayo, kita budayakan mbak :))
BalasHapusMakasih ya Mbak Aida, udah ikut GA aku. Semoga mimpi tentang daun nya terwujud, aaminn. Salam kenal ;)
BalasHapusSama-sama mbak. Ini pertama kalinya saya ikutan GA, ternyata asyik juga, hehe... Salam kenal juga mbak. Sering-sering berkunjung ya ke blog ini :))
BalasHapuskeren konsepnya . .
BalasHapuscukup unik konsepnya
BalasHapus