Facebook

Jumat, 16 Juli 2010

Persentase Karies Gigi Lebih Tinggi Pada Anak-Anak


Malang bagi Fetra (sembilan tahun) dan Fajrul (10 tahun). Kedua siswa kelas empat SD Juara Bandung ini harus merelakan gigi gerahamnya dicabut saat mengikuti kegiatan edukasi, sikat gigi bersama, pemeriksaan dan perawatan gigi gratis di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Padjadjaran, Bandung.

Kedua siswa ini mengaku jarang menggosok gigi, baik sehabis makan ataupun sebelum tidur. Juga tidak ada anjuran dari orangtua untuk menggosok gigi, bahkan memeriksakan gigi mereka.

Menurut Guru SD Juara Bandung, Enok Rohayani (28 tahun), gigi kedua siswa asuhannya ini terpaksa dicabut karena telah berlubang cukup tinggi. “Dari 138 siswa SD Juara Bandung yang datang memeriksakan giginya, hanya dua siswa yang giginya dinyatakan bagus, sedangkan 80 persen lainnya dinyatakan harus segera diberikan perawatan karena memiliki karies gigi,” katanya.


Dengan adanya program ini, kata Enok, sekolah SD Juara Bandung akan mengadakan kegiatan gosok gigi bersama setiap harinya. Ini dilakukan karena banyak orangtua yang lalai membiasakan anaknya untuk menggosok gigi.

“Peran guru di sekolah bisa menggantikan peran para orangtua dalam meningkatkan kesadaran menjaga kesehatan gigi,” kata Enok.

Lebih lanjut kata Enok yang juga sebagai bidang Kesiswaan di SD Juara Bandung ini, banyak siswanya yang sering tidak masuk sekolah karena sakit gigi. Ini mengakibatkan proses belajar si anak jadi terhambat, bahkan bisa mempengaruhi prestasi akademiknya.

Menurut Direktur Rumah Sakit Gigi dan Mulut, Grace V. Gumuruh, kasus kerusakan gigi yang paling banyak dialami anak-anak adalah karies gigi (gigi berlubang). Kerusakan ini sering disepelekan oleh orangtua sehingga tidak ada penanganan yang lebih cepat.

“Biasanya setelah gigi si anak tumbal, baru orangtua memeriksakan ke dokter gigi.”

Padahal akibat karies gigi ini, kata Grace, bisa membuat berkembangan anak terhambat dan mengganggu kegiatan aspek-aspek sosial si anak.

“Bisa dibayangkan si anak tidak bisa bermain dengan teman-teman sebayanya atau tidak mau masuk sekolah karena mengeluh sakit gigi,” katanya.

Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Bandung tahun 2008 menyatakan jumlah kasus baru karies gigi di Puskesmas adalah sebanyak 8.278 kasus pada kelompok umur 5-44 tahun.  “Bisa dikatakan anak-anak di Jawa Barat hanya 12 persen yang bebas dari karies gigi, jika dibandingkan dengan anak-anak yang ada di luar negeri harusnya 90 persen anak-anak bebas dari karies gigi,” kata Grace.

Persentase ini, menurut Grace sangat memprihatinkan, Sehingga harus ada peran aktif dari orangtua untuk membiasakan anak menggosok giginya. “Bisa dikatakan hanya delapan persen masyarakat yang menyikat giginya secara benar,” katanya.

Selain itu, penyebab banyaknya kerusakan gigi pada anak-anak lebih utama dikarenakan pola makan dan pola waktu menggosok gigi.

“Anak-anak lebih menyenangi makanan lengket seperti permen dan cokelat. Hal ini sangat lumrah, tapi harus juga dibarengi dengan kebiasaan menggosok gigi,” kata Grace.

Sementara itu, menurut Ketua Pelaksana acara, Susi, tujuan kegiatan ini adalah untuk membudayakan menggosok gigi pada masyarakat dan memeriksakan giginya setiap enam bulan sekali.

“Anak-anak dari umur dua tahun seharusnya sudah diperkenalkan pada dokter gigi, sehingga setelah besar akan sadar sendiri, juga anak-anak diberi pola makan yang sehat seperti apel dan bengkuang,” katanya.

Menurut Susi, dalam kegiatan ini telah dijumpai beberapa kasus-kasus kerusakan gigi lainnya pada anak-anak diantaranya karang gigi, kehilangan gigi tidak pada waktunya dan andoti (gigi tidak tumbuh). “Tapi yang lebih banyak memang karies gigi,” katanya.

Susi berharap dengan adanya kegiatan ini, masyarakat bisa lebih mempedulikan kesehatan giginya. Apalagi sudah banyak dijumpai kasus kematian di Indonesia akibat kerusakan gigi.

“Anak-anak jangan kebanyakan makan permen dan cokelat, karena makanan ini lebih beresiko tinggi membuat karies gigi, akibat karies gigi ini akan berdampak pada kerusakan gigi lainnya bahkan sampai flegmon yang menyebabkan kematian,” katanya.

(AKLmn, 16 Juli 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dan meninggalkan jejak :)