Facebook

Senin, 26 April 2010

Seni dalam Mengemis


Hari sudah makin gelap, jam di handphone menunjukkan pukul enam sore. Pada jam segini, jika saya beruntung saya bisa mendapat bis terakhir menuju Cibiru. Entah TMB (Trans Metro Bandung) atau DAMRI, sama saja. Dari kejauhan hanya terlihat seorang nenek tengah duduk di shelter TMB, perkiraan saya nenek itu sama sedang menunggu bis TMB atau DAMRI.

“Bisnya udah lewat, Neng,” kata nenek itu tiba-tiba saat saya duduk di sampingnya.

“Oh…jadi udah ga ada bis ke Cibiru ya?” Tanya saya basa-basi.

“Kurang tahu, kata bapak yang itu nunggu aja bis DAMRI yang ke Jatinangor,” kata nenek itu sambil menunjuk kearah bapak yang berbaju putih. Bapak itu adalah penjaga TMB, ia sedang menyalakan motornya. Sepertinya ia bergegas pulang karena tugasnya telah selesai.

Setelah kepergian bapak itu, nenek yang ada disamping saya lalu bercerita jika bapak yang tadi memberinya uang Rp 2.000 untuk ongkosnya pulang. Belum selesai nenek itu bercerita bis TMB nampak melaju dari kejauhan. Saya bersyukur karena dapat bis yang terakhir. Saya lalu mengajak nenek itu naik, entah sebenarnya kemana tujuan nenek itu, tapi ia mengikuti ajakan saya.


Di dalam bis, nenek itu kembali bercerita karena tadi ceritanya sempat terputus. Dia bercerita tentang alasannya datang ke Bandung adalah untuk menjenguk mertuanya yang dirawat selama dua bulan di Rumah Sakit Yudistira. Tapi sayangnya ia tertinggal di Bandung, sedangkan yang dijenguk mungkin sekarang telah sampai ke rumahnya yang di Pangandaran.

“Emangnya ga ada yang nyariin, Nek” Tanya saya antara percaya dan tidak percaya dengan cerita nenek itu.

“Ga ada nomor handphonenya, Neng”

Jawaban nenek itu terasa janggal, bagaimana mungkin saudara-saudaranya tega membiarkan nenek itu sendirian berada di Bandung. Nenek itu kemudian duduk lebih merapat, “Tolong pinjamin nenek Rp 20.000 buat ongkos ke Pangandaran,” bisik nenek itu ke telinga saya.

Saya kaget dengan permintaan nenek itu. Dengan lembut saya menyatakan bersedia mengantar nenek itu ke kantor polisi atau ke DKM (Dewan Keamanan Mesjid) di mesjid kampus jika nanti telah sampai ke Cibiru. Nenek itu menolak, ia kemudian meminta lagi. Jawaban saya pun tetap sama. Lagi, dan kali ini setengah memaksa. Jawaban saya tetap sama, bahkan saya berusaha berpikiran positif dengan mengajak nenek itu untuk menginap di kosan saya karena khawatir jika nenek itu harus pulang sendirian malam-malam. Dengan lemas nenek itu berkata, “Udah, nenek mah ga apa-apa.”

Sikap nenek itu kembali membuat saya merasa janggal. Saya lalu teringat dengan cerita teman-teman di kampus, mereka banyak menjumpai nenek-nenek dan kakek-kakek yang minta tolong dengan modus yang selalu sama. Modusnya kalau tidak punya ongkos untuk pulang, pasti belum makan selama beberapa hari.

Ironisnya, “praktik” seperti itu dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Bahkan dengan cara mempermainkan hati nurani kita sebagai makhluk sosial. Tentunya secara langsung jiwa sosial kita diuji, antara memberi dan tidak memberi. Tapi bukankah dengan memberi sama saja membiarkan “orang-orang itu” terus melakukan “praktik” seperti itu? Memang yang mereka minta dan yang kita beri tidak seberapa. Tapi kita harus memperhatikan dampak yang akan berlanjut. Tentunya “orang-orang itu” pun tidak akan jera, dan terus-menerus mengumpulkan kepingan rupiah demi rupiah dengan “praktik” mereka yang semakin beragam yang terinspirasi dari salah satu tayangan TV swasta yang menayangkan hal yang sama seperti itu.

Bahkan sebanyak 80 persen dari 3.500 kepala keluarga (KK) atau 9.567 jiwa di perkampungan Desa Pragaan Daya, Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep, Pulau Madura, Jawa Timur, menjadikan mengemis sebagai profesi. Disana mengemis sudah menjadi tradisi turun-temurun. Dari uang hasil mengemis tersebut, penduduk disana bisa memenuhi kebutuhan primer, sekuder bahkan tersier mereka. Rata-rata rumah penduduk disana sudah dilengkapi dengan televisi berwarna dan antena parabola, serta di bagian belakang rumah terdapat kandang hewan yang dihuni dua hingga empat ekor sapi. Beragam perabotan rumah tangga, seperti lemari pendingin dan kipas angin mudah dijumpai di setiap rumah penduduk. Lebih dari itu, di setiap rumah rata-rata bertengger minimal satu unit sepeda motor keluaran terbaru.

Ada tiga kategori kemiskinan, salah satunya adalah kemiskinan buatan. Kemiskinan buatan ini, selain ditimbulkan oleh struktur ekonomi, politik, sosial, dan kultur, juga dimanfaatkan oleh sikap “penenangan” atau “nrimo”, memandang kemiskinan sebagai nasib, malahan sebagai takdir Tuhan. Kemiskinan menjadi suatu kebudayaan (culture of proverty) atau suatu subkultur, yang mempunyai struktur dan way of life yang telah menjadi turun-temurun melalui jalan keluarga. Kemiskinan yang membudaya itu disebabkan oleh dan selama proses perubahan sosial secara fundamental, seperti transisi dari feodalisme ke kapitalisme, perubahan teknologi yang cepat, kolonialisme, dsb. Obatnya tidak lain adalah revolusi yang sama radikal dan meluasnya.

(AKLmn, 26 April 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dan meninggalkan jejak :)