Facebook

Rabu, 31 Juli 2013

Lady’s First?


Jam tepat menunjuk ke angka lima. Saya cepat beres-beres, lalu pamit pada semua orang di kantor, dengan alasan yang klasik ‘Duluan ya, takut ketinggalan DAMRI nih’. Jika saya sedang beruntung mereka hanya akan tersenyum sambil berkata ‘Hati-hati di jalan’. Tapi, jika saya kurang beruntung, saya akan tertahan beberapa menit dengan runtutan pertanyaan.
 “Memang gak pulang ke kosan, Da?”
“Gak, ada perlu. Jadi harus pulang.”
“Mau ngapain gitu?”
Ngapain aja we (dalam hati)
“Terus besok ngantor?”
Ih kepo (dalam hati)
“Terus ...?”
“Terus ...?”
Ih kepo (dalam hati)
Ih kepo (dalam hati)

*Just kidding* 

Lima belas menit biasanya waktu yang akan tersita untuk acara press conference tersebut. Padahal menit demi menit itu berharga sekali buat saya. Soalnya kalau tidak kebagian DAMRI, saya tidak jadi pulang, ogah naik angkot. Lebih tepatnya saya masih trauma dengan angkot. Pernah kejadian, nyaris jadi korban, ceritanya .... bla bla bla ....(baca selengkapnya: Nyaris Jadi Korban di Dalam Angkot). Jadi kalau pulang malam sendiri, saya jadi sangat pemilih sekali dalam memilih transportasi.
Secepat kilat saya buru-buru naik ojeg menuju pasar Ujung Berung. Maklum kantor tempat saya bekerja memang berada di tempat yang kurang strategis, aksesnya agak sedikit sulit. Jadi agar bisa naik DAMRI, saya harus naik ojeg dulu ke pasar Ujung Berung dengan ongkos Rp. 5000 sejak BBM naik. Terus menunggu sampai DAMRI datang. FYI, jadwal tetap kedatangan DAMRI menurut pengalaman saya selama bertahun-tahun (hohoho...) itu 30 menit sekali. Berhubung saya sampai ke pasar Ujung Berung jam 17:25, jadi lima menit kemudian akhirnya datanglah yang ditunggu-tunggu. Tapi, kadang waktunya tidak selalu tepat seperti itu. Kadang kalau kondisinya macet, jadwal DAMRI pun akan terganggu.
Saya berdiri bergelantungan di dalam bis. Hampir selalu begitu jika naik DAMRI di jam-jam pulang kerja. Dengan takdir tinggi badan yang di bawah rata-rata, saya hanya mampu berpegangan pada kursi penumpang agar tidak jatuh. Di depan saya ada dua ibu berseragam, sepertinya guru atau PNS yang pulang kemalaman atau sengaja pulang malam. Dari sejak naik sampai di dalam DAMRI, kedua ibu itu tidak berhenti nyerocos sekali pun harus berdesak-desakan dengan penumpang yang lainnya. Obrolannya standar seputar keluarga, anak-anak, BBM naik, sampai harga-harga makanan yang naik di pasaran. Maaf-maaf saya bukan penguping loh. Tapi suara kedua ibu itu memang mendominasi di antara penumpang-penumpang yang lainnya. Sebagai manusia normal dengan kedua telinga yang normal, mau tidak mau telinga saya terpaksa mendengar rumpian mereka.
Ibu yang membawa tas biru bercerita,
“Dulu, mah kalau naik bus gak ada loh ibu-ibu yang berdiri, soalnya anak-anak mudanya pada punya kesadaran, jadi menyilakan ibu-ibunya untuk duduk.”
Di tengah-tengah kami memang ada laki-laki yang duduk dengan santai sambil memainkan HP smartphone-nya. Dia mulai gelagapan, tak tenang nampaknya. Saya jadi kasihan, tapi saya memilih untuk tidak ikut campur dengan urusan mereka.
“Sayang, anak-anak muda jaman sekarang kurang empati, gak ada kesadaran. Atau pura-pura tidak peduli,” kata Ibu yang satunya lagi. Sambil mendelik ke arah laki-laki yang sekarang pakai headset di telinganya. Terlihat berusaha tidak menghiraukan obrolan kedua ibu itu.
Rasanya justifikasi kedua ibu itu terlalu berlebihan. Kedua ibu itu tampaknya tidak terlalu peduli obrolan mereka tadi mengundang perhatian. Banyak pasang mata yang tertuju ke arah mereka, termasuk saya. Oh iya dong, saya kan anak muda jaman sekarang, ya jelas kesindir lah .
Ingin sekali saya menunjukkan tulisan yang terpampang di bagian depan kaca bus pada kedua ibu itu, yang isinya : utamakan tempat duduk untuk lansia, penyandang cacat, ibu hamil dan menyusui. Melihat postur tubuh dan kondisi fisik kedua ibu tersebut, rasanya tidak apa-apa kalau harus berdiri.
Masalah tempat duduk itu hal sepele sebenarnya. Tapi tetap harus diluruskan. Maksud saya berikanlah tempat duduk kita pada orang-orang yang membutuhkan bukan yang menginginkan. Toh, semua orang kan ingin duduk. Sering sekali saya dibuat kikuk saat saya berdiri di bus dekat kursi penumpang laki-laki. Sikap tidak tenang, gelisah, gundah, merasa bersalah karena tega membiarkan makhluk mungil semanis saya berjuang menopangkan kaki agar tidak terjatuh melawan lajuan bus dengan tempo yang tidak tetap, kadang melambat, kadang tiba-tiba cepat itulah justru yang membuat risih. Kalau ingin menawarkan tempat duduk silakan, kalau tidak, ya tidak masalah.
Sebagai perempuan, saya tidak keberatan kalau harus berdiri di bus sepanjang perjalanan. Katanya sekarang jaman emansipasi, di mana perempuan ingin disejajarkan dengan laki-laki. Masa tidak menerima kalau tidak ada perlakuan yang spesial dalam masalah tempat duduk.
Oke, kalau ini menyangkut masalah nurani. Pernah terpikir tidak, kalau misalnya laki-laki yang nampak duduk santai di hadapan kita itu sebenarnya sedang sangat sangat capek. Atau laki-laki itu sedang sakit. Atau ... Atau . Ya, masih banyak kemungkinan-kemungkinan lainnya. Intinya, jangan berprasangka buruk. Malah saya sering lihat penumpang-penumpang perempuan yang menawarkan tempat duduknya untuk laki-laki yang terlihat sangat ingin duduk atau membutuhkan tempat duduk. Selalu ada batasan untuk istilah “Lady’s First. Toh kita bukan makhluk lemah kok.
Bus yang saya tumpangi melaju dengan cepat. Seolah-olah menyadari ada penumpangnya yang ingin segera turun. Itulah saya. Saya sudah ditunggu Bapak di perbatasan kota, lebih tepatnya dijemput. Maklum, sekali lagi saya ogah naik angkot.


(AKLmn, Juni 2013)

4 komentar:

  1. ih teh aidaaa.. jdi kangen naek damri.. tulisannya bikin imajinasi berlari ke masa lalu. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah memang udah ga pernah lg ya? damrinya sekarang kan udah ada yg mirip busway, jurusan cicaheum-cibeureum :)

      Hapus

Silakan berkomentar dan meninggalkan jejak :)