Facebook

Jumat, 08 Agustus 2014

Kecelakaan Motor di Mohammad Toha


Jumat, 11 Juli 2014

Allahu akbar…. Allahu akbar…. Tak terasa adzan Maghrib berkumandang menandakan waktu berbuka puasa. Beberapa pengendara motor di depan saya menepikan kendaraannya untuk berbuka atau sekadar minum. Sekilas melirik sebungkus kolak pemberian teman kantor. Ah, tapi tanggung, saya terus melajukan motor.

Hari ini sebenarnya saya sudah berjanji pada diri saya sendiri untuk tidak pulang malam lagi. Dua hari kemarin berturut-turut pulang malam saya merasakan “feel” yang berbeda. Rasanya jalanan begitu senyap, hening, seolah-olah hanya saya saja yang menerobos kegelapan gulita. Tanpa siapa-siapa. Tak ada siapa-siapa. Seorang diri. Tapi, apalah daya jalan Soekarno-Hatta yang begitu macet membuat waktu jarak tempuh menuju rumah jadi tak normal. Apalagi di jam-jam pulang kantor. Terpaksa saya harus menjadi ‘manusia nokturnal’ lagi.

Tiba-tiba hujan turun setelah saya melewati jalan Buah Batu. Beberapa pengendara motor di depan saya menepi untuk berteduh dan memakai jas hujan. Padahal saya juga menyimpan jas hujan di jok motor. Tapi dasar, lagi-lagi saya merasa tanggung dan malah menerobos hujan.

Hujan yang sesaat turun dan sesaat berhenti membuat perjalanan saya jadi sedikit tidak lancar. Saya sengaja menyalakan sen kiri berniat menepi, sekadar ingin mengusap kacamata yang buram terkena air hujan dengan tisu. Setiap berkendara malam, kaca helm saya yang berwarna hitam dan sudah tidak mulus lagi memang selalu terbuka, kalau tertutup jalanan jadi tidak terlihat jelas. Namun, jalanan menuju perempatan Mohammad Toha yang gelap dan sepi membuat saya urung menepi. Takut. Akhirnya, saya terus melajukan motor dengan penglihatan ekstra fokus berharap segera sampai ke rumah.

Setelah melewati perempatan jalan Mohammad Toha kecelakaan tak terduga itu terjadi. Brukkk…. Sesuatu yang cukup keras menabrak motor saya. Saya terpelanting ke depan, sedangkan motor oleng dan jatuh di belakang. Saat jatuh, bagian kepala saya yang kena terlebih dahulu, mata dan bibir saya menyentuh aspal karena kaca helmnya terbuka. Yang pertama kali saya rasakan gigi saya patah. Hanya itu. Seorang bapak buru-buru membantu saya berdiri. Oh, Tuhan kenapa dengan penglihatan saya? Ternyata kacamata bagian kanan saya pun pecah. Sambil tergopoh-gopoh menepi ke sisi jalan, sekilas saya melihat mobil kol buntung berwarna hitam yang menabrak saya itu berhenti sesaat seolah-olah melihat situasi, lalu melaju lagi. Herannya di antara bapak-bapak yang menolong saya tadi tidak ada satu pun yang berusaha mencegah mobil itu pergi.

“Neng, mendadak ngerem ya jadinya jatuh?” tanya bapak-bapak itu.

“Gak, Pak. Itu mobil kol buntung tadi yang nabrak saya dari belakang,” jawab saya sambil terus meludah karena mulut saya berdarah. Tapi, bapak itu dan bapak-bapak lainnya malah mengulang pertanyaan yang sama. Dan, berkali-kali saya harus beri jawaban yang sama pula.

“Di sini mah memang sering kecelakaan, Neng,” kata bapak-bapak yang lain.

Sedikit pusing akibat benturan tadi, saya tetap berusaha fokus melihat sekeliling. Jalanan begitu gelap dan sepi. Tak ada orang yang berlalu-lalang. Saya jatuh di area peristirahatan para sopir angkot jurusan Cicaheum-Cibaduyut. Di kanan-kiri saya angkot-angkot merah itu terparkir rapi. Saat sadar kalau saya hanya dikelilingi bapak-bapak dan pemuda-pemuda tanpa ada satu orang perempuan pun, “alert” saya mulai menyala. Warning! Ini mungkin efek dari kejadian dulu yang membuat saya jadi agak parnoan (Baca: Nyaris Jadi Korban di Dalam Angkot). Seorang bapak menyarankan agar saya beristirahat dulu di warteg yang lokasinya tepat ada di depan saya. Sekilas saya melihat warteg itu, sepi. Saya masih berdiri tak berkutik. Antara bingung dan rasa takut.

Tiba-tiba seorang pemuda menaiki motor saya yang sudah terparkir rapi di antara angkot-angkot merah itu. “Sok pindahin motornya,” kata seorang bapak pada pemuda itu. Entah maksudnya dipindahkan ke mana. Pemuda itu sudah mau membawa motor tanpa minta izin pada saya, namun buru-buru saya cegah. “Saya mau langsung pulang aja, Pak,” kata saya berkali-kali dengan suara yang bergetar karena ketakutan.

Lalu, seorang bapak yang lain menawarkan minum ke saya. Dengan halus saya tolak, mengingat mulut saya masih berdarah dan memang tidak bernafsu untuk minum. Tapi bapak itu keukeuh menyuruh saya minum padahal berkali-kali sudah saya tolak, membuat feeling saya semakin tidak enak. Beberapa orang dari mereka terlihat kesal dengan sikap saya. Saya maklumi itu. Mungkin mereka menyadari kalau saya berpikir yang tidak-tidak pada mereka yang sudah menolong saya. Ya Allah maaf bukan maksud saya untuk su’udzon pada bapak-bapak yang sudah menolong saya ini. Saya hanya bisa berdoa semoga Engkau membalas kebaikan mereka.

Meskipun masih bingung karena hanya bisa melihat dengan satu mata, tapi saya buru-buru pamit pulang. Badan saya rasanya lemas merasakan ketakutan yang luar biasa dibandingkan dengan rasa sakit dari sekujur badan saya. Saya harus pergi dari sini, titik. Hanya itu saja yang ada di pikiran saya.

Saya melajukan motor pelan-pelan sambil menyalakan sen kiri hingga berhenti di depan toko sepatu Grutty di perempatan Leuwi Panjang. Mau melanjutkan pulang ke rumah rasanya tidak mungkin karena penglihatan saya semakin tidak jelas, enggan mengambil resiko yang lebih buruk lagi. Jika kacamata saya tidak pecah mungkin lain lagi ceritanya. Saya lalu meng-SMS bapak dan adik laki-laki saya untuk minta jemput, hanya itu jalan satu-satunya yang ada di pikiran saya agar sampai ke rumah dengan selamat.

Menunggu sendirian menit demi menit kedatangan bapak dan adik saya, rasanya seperti bertahun-tahun lamanya. Sedangkan, saya enggan meminta tolong pada orang-orang yang berlalu lalang. Kalau malam saya memang jadi mawas diri pada orang asing. Sengaja saya menulis status di BBM tentang kecelakaan tadi. Biar ada orang lain yang tahu selain bapak dan adik saya jika saya kenapa-kenapa sekaligus biar bisa saya mintai tolong. Benar saja, tak berapa lama teman saya menghubungi menawarkan bantuan. Saat teman saya menelepon itulah, saya menangis tersedu-sedu, berada di keramaian tapi merasa sendirian, ketakutan, tanpa ada satu orang pun yang bisa saya mintai bantuan. Tapi, tawaran dari teman itu saya jadikan pilihan kedua mengingat jarak rumahnya cukup jauh dari tempat saya berada.

Sambil menunggu kedatangan bapak dan adik saya, saya berusaha mengingat-ingat musibah yang baru saja terjadi. Padahal setelah melewati perempatan jalan Mohammad Toha, saya melajukan motor dengan kecepatan standar, bahkan bisa dibilang pelan-pelan takut air hujan sewaktu-waktu membuat penglihatan saya tidak jelas. Jalanan pun lenggang, saya tidak berada dalam posisi menghalangi kendaraan lain. Begitulah risiko di jalanan, meskipun kita sudah berhati-hati sekalipun, kecelakaan bisa tetap terjadi akibat kelalaian orang lain yang menimpa diri kita. Tapi, saya tetap bersyukur karena masih selamat, karena masih bisa berdiri dan tersadar. Dan mengikhlaskan kecelakaan tadi serta memaafkan pengemudi mobil kol buntung yang menabrak saya meskipun kata maaf itu tidak terucap.

Salah satu hikmah dari kecelakaan ini saya harus segera mengganti kaca helm. Berkali-kali saya berniat mengganti kaca helm dengan yang bening dari bahan polycarbonate tapi gak jadi-jadi terus. Padahal, kecelakaan lalu lintas paling sering terjadi saat malam. Seharusnya kita meningkatkan perlindungan diri ketika berkendara malam hari. Saya juga semakin menyadari pentingnya memakai helm yang masih disepelekan banyak orang. Entah bagaimana kondisi kepala saya jika saat itu tidak memakai helm dan entah bagaimana jika saat jatuh helm saya terbuka. Helm saya saja bisa hancur begini, apalagi kepala saya.

Akhirnya, bapak dan adik saya datang. Mereka hanya keheranan menatap saya dengan celana dan baju robek-robek dan kacamata yang utuh sebelah, serta luka-luka di wajah seperti korban KDRT. Saya hanya ceritakan ringkasnya saja pada mereka. Tentunya mereka akan menuntut cerita selengkapnya ketika kami sudah ada di rumah. Namun, terlebih dahulu saya langsung dibawa ke dokter untuk diperiksa. Dan, hujan pun turun lagi semakin deras.

***

Seminggu lebih saya terbaring di rumah tanpa melakukan aktivitas apa-apa, istirahat total. Atas instruksi dokter pula saya dilarang berpuasa dulu, harus makan 5x sehari dan harus sering-sering tiduran tanpa bantal. Itu karena ada benjolan di kepala bagian depan yang sakitnya terasa hingga ke bagian belakang, bahkan sekadar menunduk atau menoleh saja rasanya sakit sekali. Dokter memperingatkan akibat fatal yang akan terjadi jika saya tidak menuruti kata-katanya, karena itulah saya jadi pasien yang taat. Bahkan, seumur hidup baru kali ini juga saya meminum obat sampai habis.

Alhamdulillah kini saya sudah sembuh. Tinggal ke dokter gigi untuk mencabut gigi depan yang patah. Tapi, sampai saat ini rasanya saya masih berat hati untuk pergi ke sana. Dan, tinggal menunggu luka di kaki mengering sambil menyicil mengerjakan setumpuk naskah yang deadlinenya sudah sangat molor, padahal pembayarannya sudah cair, hohoho….

1 komentar:

  1. Ditabrak saja sudah menakutkan. Ditambah lagi peristiwa habis tertabrak itu, duh, horor ya Mbak. Untung tidak menerima tawaran minuman..takutnya ada apa-apanya di dalam minuman itu ya..Alhamdulillah sekarang sudah sembuh ya..

    BalasHapus

Silakan berkomentar dan meninggalkan jejak :)