Momen Ramadhan sebagai momen yang baik untuk
beramal dan memperbanyak pahala kerap kali dimanfaatkan para pengemis palsu
untuk mengumpulkan kepingan rupiah demi rupiah untuk mempertebal kantong mereka. Mereka datang
dari sejumlah daerah-daerah dan menyebar
ke kota-kota besar di seluruh wilayah Indonesia. Tak heran setiap tahunnya di
bulan Ramadhan, jumlah pengemis di kota-kota besar selalu meningkat tajam.
Beberapa kali pemerintah
telah berupaya untuk menanggulangi para
pengemis palsu ini. Di Jakarta sendiri, Pemerintah
Provinsi (Pemprov) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya (Jaya) telah mengeluarkan
peraturan daerah (Perda) Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan (K3), salah
satunya adalah dengan memberi sanksi hukuman berupa denda Rp 150.000 - Rp 300.000
atau hukuman kurungan selama dua bulan terhadap orang-orang yang tertangkap
basah memberi sedekah kepada para pengemis di jalan raya atau di tampat-tempat
umum.
Namun, kebijakan Pemrov Jakarta tidak serta-merta membuat para pengemis palsu kapok untuk mencari nafkah dengan cara mengemis ke ibukota. Terbukti dengan jumlah pengemis palsu yang semakin banyak dan menyebar di setiap sudut kota. Sehingga peraturan K3 ini seolah-olah hanya jadi peraturan tertulis yang realisasinya tidak ada.
Ironisnya, perilaku mengemis bukan hanya akibat
dari masalah ekonomi. Namun, salah satunya dipengaruhi oleh kultur yang
menganggap kemiskinan sebagai suatu kebudayaan (culture of proverty)
atau suatu subkultur yang menjadi tradisi turun-temurun yang menganggap kemiskinan
sebagai nasib dan takdir Tuhan dan pilihan satu-satunya
yang harus diambil untuk mencari
nafkah adalah dengan mengemis.
Contohnya di Desa Pragaan
Daya, Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep, Pulau Madura, Jawa Timur. Sekalipun
MUI di Kabupaten Sumenep sudah mengeluarkan fatwa
haram untuk mengemis jika masih merasa mampu mencari uang dengan cara yang
terhormat. Tetap saja para penduduk
Desa Pragaan Daya menjadikan mengemis sebagai profesi dan sebuah tradisi yang
sudah turun-temurun. Dari uang hasil mengemis tersebut,
penduduk di sana bisa memenuhi kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier.
Bisa dipastikan mengemis menjadi hal yang sangat
menjanjikan dibandingkan dengan bekerja keras. Tanpa harus bersusah dan bekerja
keras uang bisa begitu saja mengalir ke tangan. Dampaknya tentu saja tidak bisa
disepelekan. Sedekah dan infak yang seharusnya diterima oleh orang-orang yang
berhak menerimanya tidak tersalurkan sebagaimana mestinya. Padahal ada begitu
banyak orang yang lebih berhak untuk mendapatkan sedekah dan infak kita.
Agar tidak merasa serba salah dalam bersedekah
atau berinfak ada baiknya kita lebih selektif saat memberi dan menyalurkan sedekah
atau infak kita. Ada lembaga-lembaga resmi yang bisa membantu memudahkan kita
menyalurkannya pada orang-orang yang lebih berhak seperti BAZIS (Badan Amil
Zakat, Infak dan Shadaqah) dan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional).
Lantas siapa saja yang lebih berhak menerima
sedekah atau infak? Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 177:
"Kebajikan itu bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah
(kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan
(musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang
melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji
apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada
masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa."
Jelas sekali di sana disebutkan yang berhak menerima
infak dan sedekah kita adalah kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan
(musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya.
(AKLmn, 1 Agustus 2012. Dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan meninggalkan jejak :)