Facebook

Senin, 23 April 2012

Berburu Jodoh

Empat Sahabat

Menikmati malam minggu sambil membaca novel “Friendloveship” karya Mbak Ifa Avianty mengingatkan saya pada sahabat-sahabat saya nun jauh di sana. Kisah dalam novel ini terasa begitu nyata, pernah dialami dan mungkin akan dialami suatu saat nanti yaitu tentang jodoh . Sambil cekikikan, terharu dan sedih membaca novel ini tiba-tiba terlintas pertanyaan dibenak saya yang hampir sama dengan yang dialami kedua belas bersahabat itu (banyak banget ya), "Kenapa diantara kita belum ada yang married ya?" hehe... Problem-nya tentu beragam, tapi alasan paling mendasar, dan selalu dijadikan pondasi yang kuat para perempuan single, yah karena belum ketemu jodohnya aja kali. Bisa ditebak, dan tebakan saya pasti 100% benar (ayo taruhan), kalau di malam ini kita mempunyai satu kesamaan, sama-sama tidak melakukan ritual “malam mingguan” seperti orang kebanyakan. Alasannya? We single and very happy (serius nih happy? )

Novel ini saya rekomendasikan agar dibaca sahabat-sahabat saya yang sedang single, yang begitu menikmati kesendiriannya, yang menunda-nunda mencari jodoh karena mengejar cita-citanya, yang sedang mencari jodoh tapi tak serius, ataupun yang sedang menanti-nanti jodohnya. Hmmm... Suatu saat kita pun harus berburu jodoh loh... (suatu saat yang entah kapan, nah lo?)

Di bawah ini beberapa kutipan dalam novel "Friendloveship" yang sengaja saya ambil secara acak. Mau tahu alasannya? Ada deh... Hohoho... :


“Kaupikir mencari jodoh semudah mencari persewaan mobil?”

“Berapa kali seseorang membutuhkan proses jatuh cinta sebelum dia yakin kalau dia sudah menemukan soulmate? Ada yang bisa menjawabnya untukku, untuk kami?”

Andaikan saya bisa melihat siapa calon jodoh saya kelak, mungkin saya enggak akan sekacau ini ya?”

“Aduh, maafkan saya, Tuhan. Saya hanya ‘lelah’ menunggu seseorang yang telah lama mengisi hati saya sebenarnya, dan membuat saya asyik dengan angan tak bertepi ini.”

“Buat menyemangati kita supaya lebih serius dalam mencari jodoh.”

“Huaaa…. Sejak kapan masalah perjodohan menjadi jauh enggak lebih penting ketimbang masalah cucian numpuk?”

“Aku memang pernah menduga, bahwa mungkin saja mereka akan memilihkan jodoh untukku, sebab demikianlah yang biasa terjadi di keluarga besar kami.”

“Otakku cepat merunut kesimpulan. Jadi, hari ini aku dikelilingi orang-orang yang lagi pedekate dan di-pedekatein? Apa ini tanda bahwa aku juga harus mulai memerhatikan masalah perjodohan itu?”

“Ya, kepingan puzzle. Sama enggak sih, dengan kepingan hati? Soulmate, jodoh? Bisa enggak itu ditemukan lewat pertolongan teman-teman?”

“Aku memilih untuk enggak pacaran, sama seperti sahabat-sahabatku, bukan karena enggak ada yang mau. Tapi karena aku enggak suka mengikatkan diri pada sebuah hubungan aneh tapi nyata kayak pacaran. Coba pikir, suami bukan, bapak bukan, kenapa ke mana-mana harus lapor sama pacar kita, misalnya? Kenapa kita enggak boleh naksir orang lain lagi, sementara kita juga enggak punya ikatan apapun? Dan kenapa yang pacaran itu kok ya, mau-maunya, melakukan sesuatu yang hanya boleh dilakukan suami istri, sementara enggak ada jaminan kalau nantinya dialah sang jodoh? Hiyaaa, rugi bandar! Buat orang sepelit aku, enggak banget ya, memberikan pipiku, misalnya, untuk dicium laki-laki enggak jelas, yang belum tentu menikahiku.”

“Tapi masalahnya, jarang betul laki-laki yang setuju dengan prinsipku ini. Semua yang datang padaku menawarkan bentuk penjajakan yang bernama pacaran itu. Ya aku ogah. Mendingan nge-jomblo daripada memaksakan diri menerima sesuatu yang enggak banget itu.”

“Setahuku, hanya ada satu dari sekian banyak laki-laki yang kukenal, yang juga punya prinsip sama denganku. Namanya Haryadi alias Didi. Dulu dia ketua rohis di SMAku. Haaa? Yes. Dialah yang telah sukses membawa pergi hatiku, sejak dulu hingga kini. Malangnya, aku enggak tahu kabarnya sekarang, hanya sebatas kariernya sebagai diplomat yang entah sedang ada di mana dia. Bisa dong mestinya aku tanya anak-anak TRG atau milis The Smartgirls lainnya? Hahaha, malulah. Nanti saja mungkin, kalau aku sudah demikian kepepet. Lagipula, aku juga ragu apa benar si Didi-Didi ini punya perasaan yang sama denganku? Dia kan mantan ketua rohis, sementara aku mantan ketua persatuan siswa-siswi tukang madol di sekolah. Hihi. 180 derajat berbeda.”

“Memikirkan kemungkinan bahwa Didi sudah menikah, bahkan tak membuatku move on dan ‘mencari’ yang lain. Aku masih di sini, tinggal dengan harapanku, sementara mama dan papa sudah mulai resah memikirkan sulungnya yang tampak santai, dan dua dari lima adikku yang sudah menikah bahkan sudah beranak pinak.”

“Aku ingin menikah, tapi tak juga bisa mencintai orang lain, selain Didi yang keberadaannya antara harapan dan impian itu.”

“Aku yang enggak jelas. Didi bahkan tak tahu perasaanku padanya. Dan aku juga enggak tahu keberadaan Didi sekarang. Menyedihkan.”

“Apakah semudah itu aku bisa membuka hatiku? Tak tahukah dia, bahwa sekian tahun yang lalu, aku juga pernah dikhianati oleh seseorang yang telah menyatakan perasaannya, dan serius ingin menikahiku kelak? Ya Tuhan, mengapa ini harus berulang padaku?”

“Aku hanya berandai-andai, bahwa mungkin saja kami berjodoh sebenarnya. Only in my wildest imagination. Huhuhu."


(AKLmn, 21 April 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dan meninggalkan jejak :)