Facebook

Selasa, 31 Agustus 2010

"Kami Menangis di Cikapundung"


Sore hari itu, jarum jam menunjuk angka tiga. Hujan gerimis menemani langkah saya bersilaturahmi ke sungai Cikapundung. Ini sekaligus menjadi tugas terakhir job training saya disalah satu media cetak nasional. Seperti kata Redaktur media tempat saya job training, masalah sungai Cikapundung memang bukan masalah yang baru, tapi masalah ini selalu menarik untuk ditelusuri karena tak pernah kunjung selesai.

Inilah dunia bawah dan disanalah dunia atas. Berada disini memang seperti berada di dunia yang tak biasanya. Begitu kontras saat mata memandang keatas, namun atmosfir yang berbeda akan tampak saat mata memandang kebawah. Mungkin seperti surga dan neraka, ah terlalu kejam jika menganalogikan seperti itu.

Mata saya lalu berkeliling mencari seseorang, ya saya memang harus bertanya pada seseorang untuk dijadikan narasumber. Saat itu mata saya tertuju pada seseorang berbaju lusuh yang tengah duduk santai sambil melihat sungai Cikapundung, sebut saja namanya Sumiati (nama samaran).


Air sungai yang berwarna cokelat serta sampah-sampah yang terbawa arus sungai seolah-olah menjadi pemandangan biasa baginya. Sementara disekelilingnya terlihat beberapa warga yang sedang menjalani rutinitas sehari-hari. Bahkan ada yang tengah mencuci ditempat berbilik dipinggir sungai. Air yang dipakai berasal dari sumber air bersih yang berada tak jauh dari pemukiman.

Sayangnya tak ada MCK dan jalur sanitasi sehingga pembuangan domestik (cucian, air seni, bahan buangan mandi atau tinja) langsung menuju sungai. Miris. Padahal sungai merupakan salah satu indikator kebersihan dan kesehatan lingkungan suatu wilayah.

Rumah Sumiati berada dibibir sungai Cikapundung. Bangunan rumahnya bertembok triplek dan dus-dus bekas yang luasnya tak lebih dari 2,5 x 2,5 meter. Saat hujan turun, kerapkali rumah yang berlokasi di Jalan Siliwangi ini menjadi langganan banjir sehingga rumahnya yang hanya berdindingkan triplek itu ambruk dan terseret air. “Tahun kemarin banjirnya sampai setinggi 80 meter, semuanya habis terseret banjir jadi kami harus bangun rumah lagi,” katanya.

Sumiati tinggal di bantaran sungai Cikapundung sejak tahun 2000 bersama suami dan kedua anaknya. Sehari-hari ia berprofesi sebagai penjual ketupat dengan penghasilan yang sangat minim hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan perut saja. “Kami hanya rakyat kecil, punya tempat untuk tinggal dan bisa makan saja kami sudah sangat bersyukur,” tuturnya sedih.

Ia mengaku faktor ekonomi yang membuatnya harus ikhlas untuk tinggal di dekat sungai Cikapundung. Menurutnya lahan kosong yang sekarang ia tempati adalah lahan kelolaan yang tidak ada kepemilikannya sehingga ia bisa tinggal gratis dengan membangun tempat tinggal seadanya. “Habis mau kemana lagi? Uang untuk mengontrak rumah saja kami tidak punya,” katanya, matanya mulai terlihat sembab.

Tampak sekali gurat-gurat kesedihan dari wajah Sumiati, hingga tetes-tetes airmata tak bisa lagi ia dibendung, air mata itu dengan derasnya membasahi kedua matanya. Sumiati terluka. Tersakiti oleh rasa bersalah pada kedua anaknya yang kini harus merasakan kehidupan yang tidak layak. Andai ia berpendidikan tinggi, dengan ijazah ia akan bekerja untuk menghasilkan gaji yang cukup sehingga bisa tinggal ditempat yang layak.

Meski begitu, Sumiati hanya bisa pasrah kalaupun nanti pemerintah harus menggusur rumahnya dengan paksa. Ia tahu banyak tentang larangan pendirian rumah disempadan sungai. Tapi apakah keterpaksaan adalah kesalahan? “Saya berharap pemerintah lebih peduli kepada rakyat kecil,” ujarnya sambil menyeka airmatanya.

Saya tertegun, baru kali ini saya mendapati narasumber yang menangis terisak-isak sambil menggemakan kemuakannya pada pemerintah. Kepedulian dari pemerintah memang jarang sekali Sumiati rasakan, mengingat bantuan-bantuan pemerintah seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Beras Miskin (Raskin) sama sekali tidak pernah ia terima. Padahal ia adalah penduduk tetap lengkap dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). (Dikarenakan ada prosedur tangan-tangan nakal yang tidak bisa diceritakan *off the record*)

Ironis memang, disatu sisi mereka butuh tempat tinggal, tapi disisi yang lain keberadaan mereka menambah pencemaran Cikapundung semakin besar karena terbiasa membuang sampah disungai. Sementara itu, jika mengacu Perda 3 yang menjelaskan batas-batas bangunan di daerah sungai adalah tiga meter dari tepi sungai dan harus menghadap ke sungai. Secara tidak langsung berarti banyak bangunan di bantaran sungai yang menyalahi aturan Perda tersebut, termasuk rumah yang kini ditempati Sumiati.

Polemik yang terjadi justru bermunculan karena tidak adanya ketegasan terhadap bangunan-bangunan yang melanggar tersebut. Semua pihak dirugikan, termasuk warga yang mendirikan bangunan liar dibantaran sungai yang kerapkali ditimpa banjir dan bencana-bencana lainnya. Padahal Pemerintah Kota Bandung tengah menggalakan program Gerakan Cikapundung Bersih (GCB), sekaligus menjadikan Cikapundung sebagai wisata budaya dengan rencana jangka panjang (2010-2030).

Setelah puas bertanya-tanya pada Sumiati, saya pun pamit dengan banyak perasaan yang berkecamuk dihati. Dari sini saya harus bersilaturahmi ke Dinas-dinas terkait, bukan untuk halal bi halal karena saat itu belum Lebaran, tapi untuk meminta keterangan yang lebih jelas. Saya pergi dengan malas karena membayangkan saya akan dioper-oper bak bola disana seperti pengalaman saya sebelum-sebelumnyanya. Dan gerimis pun menjadi hujan.

(AKLmn, 31 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dan meninggalkan jejak :)