Sosok-sosok ayah yang ditampilkan
dalam “7 Kisah Mengharukan Superdad” di On The Spot malam ini begitu menyentuh
hati. Pengorbanan para ayah yang tak kenal lelah di saat anak-anak mereka
hampir menyerah, rela memberikan seluruh kebahagiaan mereka demi kebahagiaan
anak-anaknya, bahkan rela mengorbankan nyawa mereka sendiri demi menyelamatkan sang
anak. Pantas jika anak-anaknya menganggap mereka sebagai pahlawan dalam hidupnya.
Kisah-kisah yang menyentuh itu
mengingatkan saya pada bapak di rumah. Sikap dan kata-katanya yang tegas dan
keras, tak akan bisa menutupi kelembutan dan kebaikan hatinya :). Waktu kecil
saking khawatirnya dengan putri manjanya yang satu ini, dalam beberapa hal saya
selalu dilarang melakukan ini-itu, apa pun diprotek termasuk masalah pertemanan.
Karena pengekangan itu saya jadi “pemberontak cilik” yang diam-diam melanggar
larangan-larangan tak tertulis dari kebijakan sang Kepala Keluarga, tapi ujung-ujungnya
selalu ketahuan juga sih dan saya pun selalu mendapat hukuman. Hukuman yang saya
dapatkan masih tergolong level tiga—dari sepuluh level—dibandingkan dengan saudara saya
yang dijeburkan ke dalam bak besar berisi ikan lele yang siap mematil kapan
saja oleh ibunya gara-gara sama-sama tidak mau mengaji :D.
Menginjak bangku SMP, bapak akhirnya
mengajarkan kebebasan dan kemandirian dengan mengirimkan saya ke pesantren. Ia
ingin menanamkan pemahaman tentang agama Islam sebagai pondasi yang kuat sebelum
memberikan saya kebebasan, agar saya tidak menggunakan kebebasan dengan
seenaknya. Dan sikap bapak yang saya pikir terlalu mengekang, pada akhirnya
saya sadari sebagai pertahanan dan perlindungan terhadap putrinya yang katanya
kelewat lugu ini, hoho...
Meskipun begitu tidak selamanya
keinginan saya selalu sejalan dengan keinginan bapak. Sikap keras bapak yang
menurun pada saya membuat kami sering berdebat dan saling tak mau mengalah,
termasuk saat saya memilih organisasi di kampus. Bapak menginginkan saya masuk
ke organisasi-organisasi yang berbau politik, kalau tidak ya minimal semipolitik. Sedangkan
saya memilih masuk organisasi yang sesuai dengan cita-cita saya sebagai
wartawan. Perasaan berat hati karena tidak bisa mengikuti keinginan bapak, saya tuangkan ke dalam puisi:
Wajar saja memang jika bapak bersikap seperti itu, karena sebagai anak
pertama, bapak menaruh banyak harapan kepada saya. Dan meskipun bertentangan, saya tetap meyakini apa yang dilakukan bapak semata-mata hanya untuk memberikan yang terbaik buat putrinya ini.
Pada tanggal 7 Juli 2010
saya menulis status di facebook seperti ini:
Bapak saya mengomentari:
Sampai sekarang saya masih memikirkan tentang perasaan bapak, karena pada akhirnya saya benar-benar pergi. Mungkin karena saya perempuan, bapak menginginkan saya tinggal tidak jauh
dari rumah sehingga tetap bisa dipantau. Tapi saya
tahu beliau melepaskan saya dengan sedikit kebanggaan, bukan dengan perasaan kecewa. Dan saya pun
bertekad tidak akan pernah mengecewakan beliau, ya meskipun kita tetap sering bertentangan :D :D :D.
Setiap ayah diam-diam selalu
menginginkan putranya berhasil.
Kukira itulah sebabnya
George Herbert menulis,
“Satu ayah lebih dari seratus guru.”
_The Lessons_
(AKLmn, 11 Juni 2012)