Facebook

Rabu, 01 Juni 2011

Sekelumit Problematika Tentang Cinta



Cinta... Cinta... Cinta...

Tema tentang merah muda itu kembali menjadi pembicaraan yang hangat diantara saya dan ketiga sahabat saya saat reunian setelah sekian lama tidak bertemu. Terlebih beberapa faktor memang sangat mendukung kami untuk membicarakan tentang hal ini, salah satunya adalah karena kami tengah menjadi mahasiswa akhir alias mahasiswa yang sebentar lagi akan lulus kuliah (Insya Allah) yang kemudian akan gamang menentukan arah hidup. Nah apa hubungannya ya?


Bukan hal yang aneh lagi jika perempuan rata-rata dituntut untuk cepat-cepat menikah oleh keluarga dan orang-orang sekitarnya, apalagi jika teman-teman sebayanya satu-persatu telah menikah. “Kalau bisa setelah lulus langsung menikah juga ya,” anjuran menikah ini ternyata tidak hanya ditujukan kepada saya, tapi juga kepada ketiga sahabat saya. Entah kebetulan atau memang sudah takdirnya (hehe) kami mengalami problematika yang sama yaitu sama-sama belum menemukan jodoh yang tepat yang nantinya akan menjadi suami kami kelak. Namun, meskipun mengalami masalah yang sama, perjalanan cinta yang kami alami satu sama lain berbeda.


Sebut saja namanya Lina. Diantara kami, Lina memang lebih banyak mempunyai “mantan” dan lebih berpengalaman dalam urusan percintaan. Ia telah beberapa kali berpacaran, namun selalu putus ditengah jalan. Bahkan disaat telah ada pembicaraan hal yang serius tentang pernikahan dengan kekasihnya pun tetap saja hubungannya kandas. Memang ia yang selalu memutuskan hubungan karena ia selalu merasa belum menemukan cinta yang tepat dengan mantan-mantannya, apalagi kebanyakan mantan-mantannya tidak meninggalkan kesan baik di matanya.

Kini hatinya sudah tertaut pada satu laki-laki yang sudah lama ia kenal. Menurut Lina, laki-laki ini berbeda sehingga ia pun harus menjalani kisah cintanya dengan cara yang berbeda pula yaitu tanpa pacaran, walau kenyataanya ia tidak anti-pacaran. Ia dan laki-laki itu sudah saling tahu tentang perasaannya masing-masing. Namun, keduanya saling menjaga untuk tetap berada dalam koridor yang semestinya dengan membatasi interaksi satu sama lain. Lina berharap laki-laki itu bisa menjadi pemimpin dan mengayomi dirinya, serta menjadi suami yang kelak membawa kebaikan dunia dan akhirat. Meskipun begitu, ia kerap dihantui keraguan dan kegelisahan karena tidak ada ikatan yang kuat yang mengikat antara ia dan laki-laki itu. Belum adanya kepastian terkadang membuat Lina merasa bebas untuk mencintai laki-laki selain laki-laki itu.

Lain lagi dengan Meli. Meli pun pernah beberapa kali pacaran, meskipun tidak sebanyak Lina. Anehnya hatinya itu justru tertambat pada laki-laki yang belum pernah ia pacari. Sebenarnya ia dan laki-laki itu saling menyukai, tapi Meli memilih menjalani hubungan adik-kakak angkat agar tidak ada kata putus, sehingga ia kerap menjaga batasan untuk tidak melebihi hubungan sebagai adik dan kakak. Sayangnya, saat Meli sedang berusaha mengekspresikan perasaan yang sudah lama ia pendam, ia mendapati kenyataan jika laki-laki yang dicintainya itu kini sudah mempunyai kekasih hati yang lain. Meli yang begitu kecewa memutuskan untuk melepaskan hatinya. Meskipun sampai saat ini ia masih belum bisa.

Setelah itu, Meli beberapa kali berpacaran dengan orang-orang yang tidak benar-benar disukainya, bahkan ia sempat menjalani ta’aruf dengan seorang laki-laki yang umurnya jauh diatasnya, namun setelah satu bulan jalinan ta’aruf itu putus karena tidak ada ketertarikan hati dan kecocokan karakter. Awalnya Meli berharap dengan adanya seseorang disampingnya ia bisa melupakan laki-laki yang pernah ia anggap sebagai kakak. Tapi nihil. Pada akhirnya ia pasrah dengan hatinya, ia memutuskan lebih menggunakan logika dalam memilih calon pasangan. Siapa pun, asalkan dengan kepribadian yang baik. Bahkan walaupun tanpa rasa cinta sekalipun, ia tak akan berpikir lama untuk pernikahan. Namun, dalam masa penantiannya, jauh di lubuk hatinya ia berharap bisa menemukan seseorang yang bisa membuatnya jatuh cinta untuk yang terakhir kalinya.

Berbeda dengan Lina dan Meli, Ami dan Nia mempunyai kisah yang hampir sama. Kisah cinta kedua sahabat ini terbilang cukup rumit. Lebih tepatnya mereka sendiri yang sebenarnya membuatnya rumit. Rumit, karena sama-sama masih terpaku dan belum bisa menghapus bayang-bayang masa lalu tapi memilih diam tanpa mengungkapkan perasaannya. Pasrah dan benar-benar menyerahkan segalanya kepada Yang Maha Berkehendak.

Ami pernah berpacaran dengan seseorang saat duduk di bangku sekolah. Hubungannya dengan laki-laki itu terjalin cukup lama, seolah-olah masa mudanya tersita hanya dengan laki-laki itu. Meskipun sempat diwarnai putus-nyambung, akhirnya dengan berat hati ia mengambil keputusan untuk benar-benar menjadi “single”, walaupun ia masih mencintai laki-laki itu. Ia sadar hubungan yang ia jalani dengan laki-laki itu adalah fitrah yang tersalahkan. Dan ia tak ingin fitrah itu semakin menjerumuskannya dalam kesalahan.

Setelah itu Ami tidak pernah lagi menjalin hubungan yang istimewa dengan siapa pun, ia tetap berusaha istiqamah dengan jalan yang sudah dipilihnya. Namun, jalan yang dipilih Ami pun tidak serta-merta berjalan mulus. Dalam proses keistiqamahannya, sangat manusiawi jika ia merasakan kehilangan dan kerinduan pada orang yang dicintainya. Menangis, menyibukkan diri dan mengadu pada Sang Pencipta menjadi alat untuk pengobat hatinya itu. Meskipun terkadang terasa pahit, ia kini berusaha menikmati kesendiriannya.

Nia, ia juga pernah menjalani hubungan dengan seseorang saat duduk di bangku sekolah. Bedanya ia tak menjalani status pacaran. Tanpa saling berkata-kata, tanpa saling mengungkapkan dan tanpa adanya status, ia sudah merasa kalau hatinya saling bertautan dengan laki-laki yang dicintainya itu. Sayangnya Nia dan laki-laki itu harus benar-benar berpisah dan memutuskan untuk menjalani hidup masing-masing karena jarak yang semakin jauh terbentang diantara mereka.

Nia yang sebenarnya tidak setuju dengan pacaran, kemudian mencoba berpacaran dalam penantiannya yang tak pasti tentang masa lalunya. Namun, hubungan itu tidak lama akhirnya kandas. Itulah kali pertama dan terakhir Nia berpacaran. Karena setelah itu, Nia memutuskan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, yaitu menyalahi fitrah dengan cara berpacaran. Dalam kesendiriannya, ia semakin menyadari bahwa cinta pada sesama manusia harus dicurahkan semata-mata karena mencintai-Nya. Kini ia berusaha untuk lebih bersabar dan bersikap pasrah tanpa berharap pada siapa-siapa. Namun, ia lebih memilih menyerahkan semuanya pada Yang Maha Berkehendak dan meyakini cintanya pasti akan indah jika pada waktunya.

Dalam mengungkapkan rasa cinta kepada sesama, setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda. Ada yang memilih untuk berpacaran agar bisa saling mengikat sampai menuju jenjang pernikahan. Ia pun merasa bebas untuk mengungkapkan cintanya secara langsung lewat kata-kata cinta, lewat bunga atau hadiah-hadiah kepada kekasihnya. Juga ada yang lebih memilih pasrah, bersabar dan menyerahkan semuanya pada Allah. Ia memilih untuk tidak mengekspresikan ataupun mengungkapkannya. Meskipun ingin, tapi justru memilih untuk diam dengan menyiapkan kematangan dirinya sampai ia benar-benar telah siap menuju gerbang pernikahan. Orang-orang seperti inilah yang sedang menuju kesempurnaan iman. Seperti hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tarmidzi: “Barangsiapa yang mencintai dan membenci, memberi dan menahan karena Allah maka telah sempurnalah imannya.”

Namun, ada satu pertanyaan yang mengusik saya saat berdiskusi ringan dengan ketiga sahabat saya itu. “Bagaimana orang yang kita cintai bisa tahu tentang perasaan kita jika kita tidak pernah mengungkapkannya?” tanya saya.

Salah seorang sahabat saya langsung menjawab, “Biarkan Allah yang akan menuntun hatinya, jika Ia berkehendak dan kalian berjodoh,” jawabnya singkat.

Jawaban itu seolah-olah mengakhiri diskusi ringan kami. Suasana seketika menjadi sunyi. Hanya terdengar alunan lagu Ayat-ayat Cinta dari Rossa yang menemani kebisuan kami saat itu. Maafkan bila ku tak sempurna cinta ini tak mungkin kucegah, ayat-ayat cinta bercerita cintaku padamu. Bila bahagia mulai menyentuh seakan ku bisa hidup lebih lama, namun harus kutinggalkan cinta ketika ku bersujud.



"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah yang akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang."  (Q.S. Maryam : 96)

(AKLmn, 1 Juni 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dan meninggalkan jejak :)