Facebook

Rabu, 20 Juni 2012

Foto-Foto Iseng: Edisi Kota Toea

Lagi nunggu KRL (Kereta Rel Listrik) di Lenteng Agung, Jakarta Selatan

Baju pernikahan la Abang-None Jakarta
Statiun Lenteng Agung, Jakarta Selatan
Di Museum Sejarah Jakarta

Berasa pembaca teks proklamasi #eh 

Senin, 11 Juni 2012

Satu Ayah Lebih Dari Seratus Guru


Sosok-sosok ayah yang ditampilkan dalam “7 Kisah Mengharukan Superdad” di On The Spot malam ini begitu menyentuh hati. Pengorbanan para ayah yang tak kenal lelah di saat anak-anak mereka hampir menyerah, rela memberikan seluruh kebahagiaan mereka demi kebahagiaan anak-anaknya, bahkan rela mengorbankan nyawa mereka sendiri demi menyelamatkan sang anak. Pantas jika anak-anaknya menganggap mereka sebagai pahlawan dalam hidupnya.

Kisah-kisah yang menyentuh itu mengingatkan saya pada bapak di rumah. Sikap dan kata-katanya yang tegas dan keras, tak akan bisa menutupi kelembutan dan kebaikan hatinya :). Waktu kecil saking khawatirnya dengan putri manjanya yang satu ini, dalam beberapa hal saya selalu dilarang melakukan ini-itu, apa pun diprotek termasuk masalah pertemanan. Karena pengekangan itu saya jadi “pemberontak cilik” yang diam-diam melanggar larangan-larangan tak tertulis dari kebijakan sang Kepala Keluarga, tapi ujung-ujungnya selalu ketahuan juga sih dan saya pun selalu mendapat hukuman. Hukuman yang saya dapatkan masih tergolong level tiga—dari sepuluh level—dibandingkan dengan saudara saya yang dijeburkan ke dalam bak besar berisi ikan lele yang siap mematil kapan saja oleh ibunya gara-gara sama-sama tidak mau mengaji :D.

Menginjak bangku SMP, bapak akhirnya mengajarkan kebebasan dan kemandirian dengan mengirimkan saya ke pesantren. Ia ingin menanamkan pemahaman tentang agama Islam sebagai pondasi yang kuat sebelum memberikan saya kebebasan, agar saya tidak menggunakan kebebasan dengan seenaknya. Dan sikap bapak yang saya pikir terlalu mengekang, pada akhirnya saya sadari sebagai pertahanan dan perlindungan terhadap putrinya yang katanya kelewat lugu ini, hoho...

Meskipun begitu tidak selamanya keinginan saya selalu sejalan dengan keinginan bapak. Sikap keras bapak yang menurun pada saya membuat kami sering berdebat dan saling tak mau mengalah, termasuk saat saya memilih organisasi di kampus. Bapak menginginkan saya masuk ke organisasi-organisasi yang berbau politik, kalau tidak ya minimal semipolitik. Sedangkan saya memilih masuk organisasi yang sesuai dengan cita-cita saya sebagai wartawan. Perasaan berat hati karena tidak bisa mengikuti keinginan bapak, saya tuangkan ke dalam puisi:

Wajar saja memang jika bapak bersikap seperti itu, karena sebagai anak pertama, bapak menaruh banyak harapan kepada saya. Dan meskipun bertentangan, saya tetap meyakini apa yang dilakukan bapak semata-mata hanya untuk memberikan yang terbaik buat putrinya ini.

Pada tanggal 7 Juli 2010 saya menulis status di facebook seperti ini:

Bapak saya mengomentari:


Sampai sekarang saya masih memikirkan tentang perasaan bapak, karena pada akhirnya saya benar-benar pergi. Mungkin karena saya perempuan, bapak menginginkan saya tinggal tidak jauh dari rumah sehingga tetap bisa dipantau. Tapi saya tahu beliau melepaskan saya dengan sedikit kebanggaan, bukan dengan perasaan kecewa. Dan saya pun bertekad tidak akan pernah mengecewakan beliau, ya meskipun kita tetap sering bertentangan :D :D :D.


Setiap ayah diam-diam selalu menginginkan putranya berhasil. 
Kukira itulah sebabnya George Herbert menulis, 
“Satu ayah lebih dari seratus guru.”
_The Lessons_

(AKLmn, 11 Juni 2012)

Kamis, 07 Juni 2012

Aku Pernah Punya Cita-cita Hidup Jadi Petani Kecil

"Aku pernah punya cita-cita hidup jadi petani kecil.
Tinggal di rumah desa dengan sawah di sekelilingku.
Luas kebunku sehalaman kan kutanami buah dan sayuran.
Dan di kandang belakang rumah kupelihara bermacam-macam  peliharaan.
Aku pasti akan hidup tenang jauh dari bising kota yang kering dan kejam.
Aku akan turun berkebun mengerjakan sawah dan ladangku sendiri.
Dan menuai padi yang kuning emas dengan istri dan anakku"
_Ebiet G. Ade_ 


Lagu “Cita-cita Kecil si Anak Desa” dari Ebiet G. Ade ini mengingatkan saya pada mimpi-mimpi kecil saya dulu. Waktu SMA saya sangat kecanduan main "Harvest Moon". Kalau libur sekolah, dari pagi sampai kembali pagi lagi saya sanggup bermain game ini. Segala hal yang ada di game ini begitu amazing buat saya. Mengingatkan saya akan masa-masa kecil saya dulu. Saya jadi terobsesi ingin hidup di tempat yang mirip dengan game ini. Rumah di daerah pegunungan, dikelilingi pohon-pohon, sawah-sawah, kebun-kebun, pantai, hewan-hewan peliharaan, dan tetangga-tetangga yang begitu baik. Bebas dari kebisingan dan polusi kota.